Abstract
Untuk mengatasi konflik antara penduduk terjajah dengan pihak kolonial di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 terdapat satu laku elegan yang diwadahi bentuk sastra melalui sebuah kumpulan puisi berjudul Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoenyang ditulis Saorang jang Bangsjawan dan terbit pada tahun 1857. Hampir tidak adanya akses bagi pribumi untuk memperoleh pendidikan sampai menjelang pertengahan abad ke-19, ada satu siasat yang dikemas dalam kumpulan puisi tersebut, dengan ajakan belajar membaca agar orang-orang bumiputra dapat mengetahui situasi zaman. Cara ini ditempuh mengingat pendidikan yang sangat diskriminatif pada masa itu sehingga penduduk bumiputra hampir sama sekali tidak mampu melepaskan diri dari jerat kebodohan dan perlakuan semena-mena dari pihak penjajah. Sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh Johannes van den Bosch yang sangat merugikan tidak dapat ditolak karena tidak tersedia ruang negosiasi. Hal ini sangat wajar sebab literasi antara pihak penjajah dan yang dijajah amat timpang. Oleh tidak mungkinnya terjadi negosiasi, langkah pemberdayaan ditempuh oleh Bangsjawan dengan mengemukakan bahwa kemelekhurufan adalah suatu keharusan. Akan tetapi, mengingat kuasa kolonial demikian kuat dan jahat, cara yang dilakukan oleh Bangsjawan adalah mengajak anak-anak muda untuk mampu membaca karena kemampuan ini merupakan salah satu langkah subversif yang mencerdaskan.
Original language | English |
---|---|
Title of host publication | Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra, & Budaya Tema: Santa Smrti: Menelisik Potensi Bahasa, Sastra, & Budaya sebagai Resolusi Konflik |
Pages | 266-179 |
Number of pages | 14 |
Volume | 1 |
ISBN (Electronic) | 2958-3982 |
Publication status | Published - 31 Jan 2023 |