Politik Kupu-kupu: Strategi Perlawanan Isu Kekerasan Seksual di Kampus dengan Media Pemberitaan

Seli Muna Ardiani, L.G. Saraswati Putri

Research output: Contribution to journalArticlepeer-review

Abstract

Artikel ini merupakan suatu pembacaan terhadap gerakan perlawanan kekerasan seksual di kampus. Gerakan tersebut secara massif mulai menyeruak dalam kampanye bertagar #KitaAgni pada tahun 2018. Interupsi publik atas kekuasaan institusi kampus juga diwujudkan dengan kampanye #NamaBaikKampus. Kampanye-kampanye tersebut berhasil memantik laporan lain kekerasan seksual di berbagai kampus di Indonesia. Gelombang perlawanan tersebut menggambarkan suatu aktivisme kolektif yang kemudian dalam artikel ini disebut sebagai “Politik Kupu-kupu”. Tujuh tahun yang lalu, istilah ini dikenalkan oleh Catharine A. MacKinnon guna menjelaskan suatu gerakan kecil, sederahana, namun kontinu menciptakan suatu perubahan besar. Konsep inilah yang memandu penulis untuk terus memeriksa bagaimana strategi Politik Kupu-kupu dilakukan di Indonesia dalam mengawal kasus kekerasan seksual di kampus. Amatan dan pemeriksaan akan dipecah dalam beberapa permasalahan: Pertama, penulis akan menguraikan terlebih dahulu bagaimana kesulitan penyelesaian masalah kekerasan seksual di kampus. Kedua, kesulitan-kesulitan tersebut pada praktiknya mampu terpecahkan melalui aktivisme feminis dan jurnalisme kritis yang secara massif menggerakkan dukungan melalui media masa. Penulis juga akan mempertimbangkan ulang Politik Kupu-kupu dengan kontrol penuh media mampu memenuhi perlindungan bagi korban. Pada akhirnya, artikel ini menguarai berbagai keberhasilan atas kerja kolektif melawan kekerasan seksual di kampus. Namun beberapa catatan harus diperhatikan yakni kecepatan sebaran informasi dalam masyarakat jejaring belum tentu memenuhi rasa keadilan bagi korban.

[This article is an observation of the movement against sexual violence on campus. The mass movement began to emerge in a campaign with the hashtag #KitaAgni in 2018. Public interruption of the power of campus institutions was also manifested by the #NamaBaikKampus campaign. These campaigns succeeded in sparking reports of sexual violence on various campuses in Indonesia. This wave of resistance describes a collective activism which is later referred to in this article as “Butterfly Politics”. Seven years ago, this term was coined by Catharine A. MacKinnon to describe a small movement that created a big change. This is what guides the author to examine how the Butterfly Politics strategy is carried out in Indonesia in guarding cases of sexual violence on campus. Observations and examinations will be divided into several problems: First, the author will explain the difficulties of solving sexual violence on campus. Second, these difficulties in practice can be solved through feminist activism and critical journalism by garnering support through the mass media. The author will also reconsider the Butterfly Politics with full media control capable of providing protection for victims. In the end, this article describes the successes of collective work against sexual violence on campus. However, several notes must be noted, namely the speed of information in the network society does not necessarily fulfill the sense of justice for victims.]
Original languageIndonesian
Pages (from-to)87-103
JournalMusãwa Jurnal Studi Gender dan Islam
Volume22
Issue number1
DOIs
Publication statusPublished - 29 Sept 2023

Keywords

  • Kekerasan Seksual
  • Politik Kupu-kupu
  • Kampus
  • Feminisme

Cite this