Abstract
Pendahuluan. Gangguan psikis memiliki hubungan yang erat dengan pengaruh hormonal seperti kortisol dan serotonin. Pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dapat terjadi disfungsi otonom dan disregulasi aksis hypothalamus pituitary adrenal (HPA) yang menyebabkan peningkatan kortisol yang dapat memperburuk prognosis pasien SKA. Sehingga, penting untuk mengetahui pengaruh hormonal yaitu kadar kortisol dan serotonin terhadap gejala depresi yang akan ditelaah pada penelitian ini.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui peran kortisol dan serotonin terhadap kejadian depresi pada pasien SKA pasca perawatan di ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengambilan data pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan 10-14 hari pasca perawatan melalui wawancara, pengisian kuesioner HADS, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Uji Mann whitney digunakan untuk melihat perbedaan kadar serotonin dan kortisol saliva pada pasien SKA dengan dan tanpa depresi.
Hasil. Dari total 73 pasien SKA, didapatkan rerata usia 57,53 (9,97) tahun dan 68,5% berjenis kelamin laki-laki, serta sebanyak 15,1% mengalami depresi pasca perawatan. Median kadar serotonin ditemukan lebih rendah pada pasien dengan depresi [175 (147 – 227,64) ng/mL vs. 189,31 (152,87-235,44) ng/mL], sedangkan kadar kortisol ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan depresi [3,09 (1,46-6,26) ng/mL vs. 2,15 (0,92-3,91) ng/mL]. Namun demikian, uji statistik antara serotonin plasma terhadap depresi menunjukkan hasil yang tidak bermakna secara statistik, demikian pula dengan kortisol saliva.
Kesimpulan. Secara statistik, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar kortisol maupun serotonin terhadap gejala depresi pada pasien pasca sindrom koroner akut. Namun, penelitian ini bermakna secara klinis dilihat dari kadar serotonin plasma yang lebih rendah serta kadar kortisol saliva yang lebih tinggi pada pasien SKA dengan depresi. Kata Kunci: Depresi, kortisol, serotonin, pasca sindrom koroner akut
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui peran kortisol dan serotonin terhadap kejadian depresi pada pasien SKA pasca perawatan di ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengambilan data pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan 10-14 hari pasca perawatan melalui wawancara, pengisian kuesioner HADS, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Uji Mann whitney digunakan untuk melihat perbedaan kadar serotonin dan kortisol saliva pada pasien SKA dengan dan tanpa depresi.
Hasil. Dari total 73 pasien SKA, didapatkan rerata usia 57,53 (9,97) tahun dan 68,5% berjenis kelamin laki-laki, serta sebanyak 15,1% mengalami depresi pasca perawatan. Median kadar serotonin ditemukan lebih rendah pada pasien dengan depresi [175 (147 – 227,64) ng/mL vs. 189,31 (152,87-235,44) ng/mL], sedangkan kadar kortisol ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan depresi [3,09 (1,46-6,26) ng/mL vs. 2,15 (0,92-3,91) ng/mL]. Namun demikian, uji statistik antara serotonin plasma terhadap depresi menunjukkan hasil yang tidak bermakna secara statistik, demikian pula dengan kortisol saliva.
Kesimpulan. Secara statistik, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar kortisol maupun serotonin terhadap gejala depresi pada pasien pasca sindrom koroner akut. Namun, penelitian ini bermakna secara klinis dilihat dari kadar serotonin plasma yang lebih rendah serta kadar kortisol saliva yang lebih tinggi pada pasien SKA dengan depresi. Kata Kunci: Depresi, kortisol, serotonin, pasca sindrom koroner akut
Translated title of the contribution | Difference between Plasma Serotonin and Salivary Cortisol with Depressive Symptoms in Post-Acute Coronary Syndrome Patients |
---|---|
Original language | Indonesian |
Journal | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia |
Volume | 10 |
Issue number | 3 |
DOIs | |
Publication status | Published - 8 Sept 2023 |
Keywords
- Depresi
- kortisol
- serotonin
- pasca sindrom koroner akut