Description
DARI perspektif administrasi negara, langkah pemerintah mengumumkan dua warga Indonesia yang terjangkit Covid-19 bisa dilihat sebagai implementasi pemerintahan yang transparan. Dengan transparansi itu, pemerintah seolah berharap ada langkah-langkah mitigasi risiko bagi warga di sekitar tempat tinggal suspect.
Dengan kata lain, organisasi birokrasi dapat bergerak dari pusat hingga ke daerah, baik untuk melakukan pencegahan maupun pengobatan. Birokrasi berjalan seirama menangani pasien positif dan mencegah persebaran virus ke warga sekitar.
Tapi, ternyata, pengumuman itu tidak disertai mitigasi risiko yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi suspect. Hanya dalam hitungan jam setelah pengumuman Presiden Joko Widodo, data pribadi kedua pasien positif itu tersebar di ruang publik.
Lengkap dengan inisial nama, nomor rumah, alamat rumah, dan kota tinggal keduanya. Lokasi yang eksplisit tercantum dalam laporan medis tersebut langsung diserbu jurnalis sehingga ruang privat keduanya seketika berubah menjadi ruang publik. Bahkan, ruang privasi warga sekitar ikut terganggu akibat sebaran informasi tersebut.
Perhatian publik terhadap isu Covid-19 begitu besar melewati batas-batas wilayah tempat tinggal kedua pasien tersebut. Sayang, sebagian perhatian itu berwujud kekhawatiran yang berlebihan dan menimbulkan panic-buying.
Kondisi tersebut diperparah penyebaran informasi lewat media sosial yang cenderung menumbuhkan rasa waswas. Banyak orang yang menyebar informasi tidak berdasar fakta di lapangan.
Dan, ironisnya, pernyataan-pernyataan pejabat publik mengenai kasus persebaran virus korona itu tak sepenuhnya benar. Lokasi tempat tinggal suspect justru diafirmasi oleh pejabat lokal.
Kondisi tersebut mengungkap dua masalah lain yang penting dari ilmu administrasi negara. Pertama, kegagapan para pejabat dalam menghadapi risiko wabah penyakit yang berpotensi menyebar secara masif. Penjelasan antara satu pejabat dan pejabat lain relatif tidak sinkron pada isu tertentu. Misalnya, tindakan isolasi orang-orang yang berhubungan (kontak) langsung dengan kedua pasien positif dan pemasangan garis polisi di rumah mereka.
Kedua, masih ada pejabat publik dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak menyadari pentingnya perlindungan data pribadi seseorang. Itu tecermin dalam kasus dua pasien positif Covid-19 tersebut.
Pejabat setempat justru tanpa merasa bersalah mengungkap data keduanya, tanpa mempertimbangkan ekses ”transparansi” itu terhadap kondisi keluarga pasien dan warga sekitar. Pemahaman terhadap informasi yang dikecualikan, berdasar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), dan perlindungan data pribadi terkesan minim. Studi yang dilakukan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia di beberapa kota pada 2019 memperkuat proposisi tersebut.
Transparansi memang menjadi bagian integral dari tata pemerintahan yang baik. Lindstedt dan Naurin (2010) berpendapat, transparansi tentang informasi yang tersedia tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan.
Peningkatan transparansi (kepada publik) harus disertai langkah-langkah untuk memperkuat kapasitas masyarakat untuk ber-tindak berdasar informasi yang tersedia. Transparansi yang dimaksud tak semata-mata mengenai keterbukaan informasi, karena melekat juga kewajiban bagi pejabat pemerintah untuk menjaga kerahasiaan, yang dalam UU KIP disebut ”informasi yang dikecualikan”.
Pasal 17 huruf h dan huruf i UU KIP menegaskan bahwa informasi pribadi termasuk informasi yang dikecualikan. Dan, itu meliputi riwayat dan kondisi anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang.
Pengungkapan identitas pasien positif Covid-19 secara terbuka merupakan pelanggaran hak-hak pribadi. Perlindungan hukum atas identitas diri dan keluarga adalah hak konstitusional setiap warga negara.
Pada tataran implementasi, perlindungan terhadap identitas diri dan keluarga berkelindan dengan ketanggapan aparat pemerintah terhadap bahaya yang mengancam masyarakat. Ketanggapan bukan semata mengenai langkah-langkah taktis penanganan medis, melainkan juga bagaimana mengomunikasikan solusi kepada warga terdampak.
Diperlukan orang yang mampu berkomunikasi dengan bahasa yang baik, yang bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pe-merintah. Kasus pengungkapan data pribadi kedua pasien positif dengan dalih telah diungkap di media sosial sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi pejabat publik.
Ketika pemerintah menyatakan bahwa sudah ada strategi yang lengkap dengan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknisnya, perlu dipastikan semua informasi dapat diperoleh dengan cepat dan dipahami dengan mudah. Tentu saja bukan hanya masyarakat yang harus memahami, melainkan aparat pemerintah juga mesti tersosialisasi dan teredukasi dengan baik. (*)
*) Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Saksikan video terkait virus korona berikut ini:
https://www.youtube.com/watch?v=Lx1XnrAzOwk
Video lainnya terkait virus korona:
https://www.youtube.com/watch?v=B4oXE_JZIUU
https://www.youtube.com/watch?v=xmS3ECidS24
Period | 5 Mar 2020 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Transparansi Versus Perlindungan Data Pribadi Media name/outlet JawaPos Country/Territory Indonesia Date 5/03/20 Persons Lina Miftahul Jannah
Keywords
- Perlindungan Data Pribadi
- LINA MIFTAHUL JANNAH