Suku Bunga Acuan Naik, Bagaimana Respon Bank di Indonesia dalam Menentukan Interest Margin?

Press/Media

Description

*Oleh: Putri Metasari Pangaribuan dan Dr. Dewi Hanggraeni, MBA. (Fakultas Ekonomi Bisnis dan Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina)

Dunia baru saja melewati masa sulit akibat pandemi COVID-19, namun terjadilah perang antara Rusia dan Ukraina yang secara tidak langsung berdampak pada kenyamanan dunia. Penyediaan energi terganggu dan harga pangan ikut menanjak, akibatnya kondisi perekonomian memburuk. Kondisi ini ditandai dengan tingkat inflasi yang meningkat sehingga Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) menaikkan Federal Funds Rate ke level 3-3.25% pada 21 September 2022 (Federal Reserve, 2022).

Sepanjang Q1 hingga Q3 2022, setidaknya The Fed telah lima kali menyesuaikan Federal Funds Rate. Dalam rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) tertanggal 17 Maret 2022, FFR berada di kisaran 0,25-0,50% dengan perubahan rate +25 basis poin (bps). Sementara itu dalam rapat pada 5 Mei 2022, FFR berada di kisaran 0,75-1% dan suku bunga pun naik 50 bps. The Fed terus menaikan suku bunga sebesar +75 bps dalam dua rapat FOMC pada 16 Juni dan 27 Juli 2022 dengan FFR masing-masing pada kisaran 1,5-1,75% dan 2,25-2,5%. Dalam rapat terakhirnya, FFR berada pada rentang 3-3,25% dan suku bunga dipatok naik +75 bps.

 

Hal serupa diikuti oleh Bank Indonesia yang juga meningkatkan tingkat suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sehari setelah The Fes mengumumkan kenaikan tingkat suku bunga pada level 4.25% (+50 bps) dari 3.75%, suku bunga deposito sebesar 50 bps menjadi 3.50% dan suku bunga pinjaman sebesar 50 bps menjadi 5.00%.

Hal tersebut diharapkan dapat mendorong penurunan inflasi dan memastikan inflasi ke sasaran 3.0 ±1% pada tahun depan serta menguatkan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi dalam negeri maupun luar negeri[1].

Kenaikan suku bunga baik FFR maupun BI 7-Day Repo Rate berdampak pada bank komersial dalam menentukan suku bunga antar bank untuk pinjaman overnight[2]. Bank dapat melakukan pinjaman overnight untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang telah ditetapkan oleh regulator, tetapi hal ini akan berdampak tidak hanya pada industri perbankan melainkan suku bunga pasar lainnya.

 

Perubahan juga berdampak pada perekonomian global, karena banyak yang memperhatikan dampak perubahan FFR terhadap perekonomian Amerika Serikat sebagai acuan pengambilan keputusan. Tujuan FFR dinaikkan dengan harapan agar meningkatnya biaya kredit sehingga semakin tinggi suku bunga pinjaman baik ritel maupun bisnis. Tingginya pembayaran bunga pinjaman akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dana sehingga dapat membayar bunga pinjaman dan dapat menurunkan tingkat inflasi.

Tingginya suku bunga juga akan berdampak pada bursa saham, karena semakin tinggi  biaya untuk meminjam uang maka cost of doing business perbankan juga akan terdampak. Hal ini tercermin pada tingkat pertumbuhan nilai saham  perusahaan yang terdaftar pada bursa saham.

 

Dampak kenaikan FFR akan memengaruhi psikologis dan bagaimana investor bereaksi terhadap kondisi pasar – transaksi penjualan saham cenderung meningkat dan berpindah ke investasi yang lebih aman. Kenaikan suku bunga juga akan berdampak pada pinjaman ritel seperti kartu kredit atau pinjaman tanpa agunan karena variabel ini sensitif terhadap perubahan suku bunga acuan. Umumnya, bank akan menetapkan suku bunga yang baru untuk fixed rate tetapi tidak berlaku bagi pinjaman yang sudah berjalan (Mohammada, Asutay, Dixon, & Platonova, 2020).

Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007-2009 menekankan pentingnya untuk mengukur dan melakukan forecasting hingga memahami pentingnya risiko likuiditas sehingga bank memegang peranan penting dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara. Bank menjalankan fungsinya dengan memegang liabilitas jangka pendek dalam jumlah besar untuk membiayai aset jangka panjang. Apabila pemegang rekening menarik simpanan secara bersamaan dan bank tidak dapat mengantisipasinya, hal ini dapat mendorong bank untuk menjual aset likuid atau meminjam dana dari pasar uang.

 

Berdasarkan BCBS (2008), apabila bank tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo maka bank dinyatakan terkena risiko likuiditas. Hal ini mendorong bank dalam melakukan penilaian atas aset-aset yang dimiliki untuk mencegah risiko likuiditas yang dapat berdampak ketidakcocokan antara liabilitas dan aset pada neraca keuangan. Risiko likuiditas merupakan risiko yang sangat penting untuk diperhatikan dan dapat mengakibatkan risiko kebangkrutan. Akibatnya, bank-bank di Indonesia perlu merespon kebijakan pemerintah dengan memeriksa kembali seberapa likuid aset-aset yang dimiliki sehingga bank tidak terpapar risiko kebangkrutan.

 

Menurut aturan Basel III, dengan menggunakan indikator High Quality Liquid Asset (HQLA) untuk bertahan dalam kondisi skenario stres dalam 30 hari dan indikator Liquidity Coverage Ratio (LCR), pencegahan risiko simpanan dapat dipenuhi dengan sumber pendanaan yang cukup dalam rangka mitigasi risiko stres simpanan di waktu mendatang. Regulator akan melakukan pengawasan menggunakan alat ukur yang telah disediakan sehingga bank wajib memenuhi aturan likuiditas dalam rangka mencegah risiko likuiditas sistemik perbankan (Murphy, 2022).

Risiko likuiditas erat kaitannya dengan risiko kredit, meningkatnya risiko kredit mengakibatkan kebutuhan likuiditas meningkat. Fungsi bank secara mendasar adalah untuk menghimpun dana sekaligus menyalurkannya dalam bentuk pinjaman. Yang mungkin saja, timbul risiko kredit ketika debitur gagal memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan.

 

Seperti dijelaskan sebelumnya, kenaikan suku bunga acuan BI akan berdampak pada bunga yang dibebankan kepada debitur baik nasabah individu maupun pelaku bisnis. Dalam hal ini, pembiayaan atau penyaluran dana baik kepada pihak ketiga maupun bank lain. Di Indonesia terkonsentrasi pada Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) IV, berdasarkan data posisi Juni 2022 yang diterbitkan oleh OJK yakni Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI[3]. Hal ini menunjukkan persaingan di industri perbankan merupakan persaingan pasar oligopoli (karena hanya ada beberapa pemain besar seperti KBMI IV) sehingga ketetapan suku bunga dalam rangka memperoleh interest margin yang diterapkan baik pada produk deposito maupun pinjaman tidak hanya berdampak pada internal bank melainkan juga kompetitor. Gambaran kebijakan yang diterapkan pada bank–bank KBMI IV dapat dijadikan acuan kondisi likuiditas di Indonesia secara garis besar dibandingkan dengan bank yang ada pada KBMI I hingga III.

 

Pertama-tama, perhatikan kondisi LCR bank KBMI IV berdasarkan laporan Maret 2022; PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., 223,42%[4], PT  Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., 206,78%[5], PT Bank Central Asia Tbk., 400,58%[6], PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., 248,77%⁷.

Dapat dilihat bahwa keempat bank tersebut, memiliki aset likuid yang besar, yakni LCR lebih dari 100%.  Hal itu akan menentukan biaya likuiditas yang dibutuhkan bank dan harga aset likuid dijual untuk jangka waktu overnight dalam rangka pemenuhan aturan regulator. Selain itu, hal tersebut juga dijadikan acuan penentuan interest margin, sehingga akan tampak persaingan kompetitif antarbank KBMI IV yang akan tercermin pada suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman keempat bank tersebut.

 

Apa yang harus dilakukan bank?

Risiko likuiditas merupakan risiko inheren yang melekat pada bisnis industri perbankan sehingga strategi investasi dan diversifikasi portofolio perbankan menjadi hal yang vital untuk diperhatikan. Meskipun bank memiliki aset likuid untuk mengantisipasi kebutuhan likuiditas, tetapi jika hanya mengandalkan aset likuid dalam jumlah besar, aktivitas memberikan pinjaman juga perlu ditingkatkan. Hal tersebut akan memengaruhi kestabilan keuangan yang berujung kebangkrutan apabila gagal dikelola.

“Rasio likuiditas berpengaruh positif terhadap interest margin bank. Lebih jauh, adanya hubungan antara market power dalam likuiditas dan interest margin. Kebanyakan bank memperhitungkan biaya yang berkaitan dengan likuiditas ke dalam interest margin. Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pemenuhan aturan regulasi likuiditas dapat berkurang ketika kompetisi antarbank tidak terlalu intens, sehingga penting mempertimbangkan market power dalam merancang implementasi aturan likuiditas. Semakin besar market power yang dimiliki oleh bank, maka biaya investasi likuiditas akan semakin lebih murah sehingga NSFR dan LCR memiliki pengaruh positif terhadap interest margin bank.”( Nguyen, T., 2022)

 

Bank dikatakan memiliki market power yang besar ketika direpresentasikan dengan persentasi perubahan harga antara harga terhadap marginal cost. Dalam hal ini, bank yang memiliki market power lebih besar akan memiliki kemampuan untuk menentukan harga dan memengaruhi pasar sehingga kompetitor juga akan bereaksi atas ketentuan tersebut. Perubahan harga tersebut dapat tercemin dalam faktor interest margin yang merupakan tolak ukur pertumbuhan bank sehingga hal ini sangat penting diperhatikan. Adanya selisih antara bunga yang dibebankan kepada penerima pembiayaan dan bunga yang dibayarkan kepada deposan merupakan interest margin[7]. Kaitan interest margin tidak hanya berhenti pada kenaikan suku bunga, tetapi terdapat beberapa faktor lain baik internal maupun eksternal bank yang memengaruhi antara lain tingkat persaingan antar, risk appetite, biaya operasional, risiko kredit serta dipengaruhi regulasi maupun faktor makroekonomi lain seperti Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan juga ada atau tidak adanya krisis ekonomi.

 

Adanya kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Repo sebagai salah satu akibat faktor makroekonomi juga akan semakin mendorong bank untuk memperhitungkan cost of doing business dan memperhitungkannya dalam interest margin. Bank tidak bisa menutup mata terhadap kompetisi yang terjadi antarbank. Bank golongan KBMI IV juga perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut ini dalam menentukan interest margin, seperti berikut:

Pertama, melakukan perubahan dalam aturan pricing dengan meningkatkan suku bunga deposito dan mengurangi suku bunga pinjaman. Akibat perubahan aturan terkait suku bunga acuan tersebut, interest margin terkena dampaknya. Namun keempat bank pada KBMI IV diatas memiliki market power yang lebih besar sehingga dapat memanfaatkan kekuatan pricing untuk mengompensasi biaya investasi pada aset likuid tanpa menghilangkan faktor kompetisi sesama bank KBMI IV maupun terhadap KBMI lainnya.

 

Kedua, bank dengan market power yang besar dipandang ‘less risky’. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh KBMI IV untuk kemudahan dalam akses ke funding market sehingga dapat memperoleh pendanaan dengan biaya yang lebih murah sehingga tidak harus bergantung pada aset likuid sepenuhnya dan meningkatkan pembiayaan, baik pada pihak ketiga maupun bank lain.

Ketiga, bank yang memiliki portofolio yang signifikan berupa deposito dan pinjaman seperti KBMI IV memiliki keuntungan dalam mengidentifikasi peluang bisnis. Keempat bank tersebut dapat memanfaatkan market power yang dimiliki untuk memperoleh aplikasi pembiayaan dengan ketentuan yang menguntungkan dalam proses pembuatan kontrak.

Dengan menerapkan ketiga langkah di atas, bank pada KBMI IV dapat menghasilkan lebih banyak pemasukan dengan melakukan kompensasi atas biaya yang timbul dari investasi likuiditas dengan mengurangi interest margin. Bank-bank tersebut yang memiliki modal inti lebih dari Rp. 70 triliun sehingga memiliki daya dukung modal yang lebih kuat sehingga diharapkan lebih kompetitif dan agile di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) ini.

Subject

Opini

Period17 Nov 2022

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleSuku Bunga Acuan Naik, Bagaimana Respon Bank di Indonesia dalam Menentukan Interest Margin?
    Media name/outletKlik Warta
    Country/TerritoryIndonesia
    Date17/11/22
    PersonsDewi Hanggraeni