Stunting Melalui Lensa Interseksional

Press/Media

Description

Beredarnya gambar dan video berisi keluhan dan protes masyarakat terhadap kelayakan makanan kemasan yang semestinya menjadi asupan dalam rangka pencegahan stunting menambah lagi kerumitan yang melingkupi penanggulangan stunting.

PERCEPATAN penyelesaian isu stunting menjadi semakin tersendat-sendat. Kritik yang dilayangkan masyarakat terhadap program pemberian makanan tambahan di Kota Depok adalah menu makanan yang disajikan dianggap tidak memenuhi kebutuhan gizi yang disasar. Menimbang program ini menghabiskan anggaran Rp 4,9 miliar yang dijanjikan akan diberikan ke sekitar 9.882 anak balita selama 28 hari.

Polemik kelalaian pengelolaan layanan kesehatan soal gizi ini, satu saja kendala di antara berbagai tantangan untuk memecahkan tingginya angka stunting di Indonesia. Stunting atau tengkes menurut definisi dari World Health Organization (WHO) merupakan gangguan pertumbuhan anak yang disebabkan kekurangan gizi kronis. Permasalahan kesehatan ini ditandai dengan tinggi badan di bawah standar. Permasalahan stunting, selain berdampak seperti gagal tumbuh, juga berpotensi menghambat kemampuan anak di masa depannya. Lebih lanjut lagi, anak-anak yang menderita stunting dapat mengalami problem kesehatan saat beranjak dewasa sehingga rentan terhadap gangguan kesehatan seperti diabetes, penyakit jantung, dan lainnya.

Stunting di Indonesia merupakan problem yang kompleks, saling bertautan satu dengan yang lain. Dengan membongkar isu stunting, dapat ditemukan permasalahan multidimensi yang melibatkan terbatasnya akses terhadap makanan bergizi. Hal lainnya juga terkait dengan rendahnya wawasan tentang nutrisi yang baik serta kurangnya edukasi yang menyeluruh bagi masyarakat. Selain itu, terdapat problem struktural dan sistemik, yakni kemiskinan dan ketimpangan, dan juga sistem kesehatan yang belum berorientasi pada keadilan. WHO telah menerbitkan dokumen berhubungan dengan Target Nutrisi Global 2025. Lembaga ini menggarisbawahi bagaimana penentu sosioekonomi dan ketimpangan berpengaruh pada angka stunting.

Stunting dalam hal ini tidak saja terjadi di wilayah pedesaan, tetapi juga di wilayah urban, khususnya kelompok keluarga dengan pendapatan yang rendah. Laporan WHO juga membahas soal pengaruh perubahan iklim, khususnya terkait dengan problem ketersediaan pangan dan tergerusnya keberagaman pangan yang dapat mengakibatkan stunting. Perubahan iklim, khususnya kebencanaan yang disebabkan cuaca ekstrem, dapat berakibat pada ketahanan pangan masyarakat yang akan berdampak pada prevalensi stunting.

Mengingat rumitnya aspek-aspek dalam menanggulangi stunting, diperlukan terobosan dalam pencegahan dan penurunan stunting. Perlu dilakukan program-program secara kemitraan dalam kerja kolaboratif berjenjang. Pemerintah pusat, daerah, desa, organisasi masyarakat, hingga perguruan tinggi perlu bekerja sama melengkapi pengetahuan dan pengalaman dalam mengatasi permasalahan stunting. Di kampus Universitas Indonesia saya mempelajari paling tidak dua program aksi riset dan pengabdian masyarakat, yakni oleh dr Erfi Prafiantini dari fakultas kedokteran dan Dr Nani Nurhaeni dari fakultas ilmu keperawatan, yang secara konsisten mendampingi masyarakat di Desa Sembalun Bumbung dan Desa Batu Nampar Selatan di Lombok Timur, NTB. Semenjak 2019 mereka telah mendampingi kader puskesmas, posyandu, ibu-ibu, hingga remaja putri dalam memahami stunting.

Saya berkesempatan berdiskusi dengan kepala puskesmas dan para bidan di Sembalun. Saya mencermati inisiatif baik yang dikembangkan oleh warga untuk menyikapi stunting. Di Sembalun angka stunting telah turun dari 21 persen hingga 15 persen. Saya simpulkan hal ini disebabkan oleh eratnya kerja sama antara lembaga kesehatan desa hingga komunitas. Begitu pula aktifnya satgas stunting dari tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa memudahkan koordinasi dan alur program yang tepat sasaran. Adapun di Sembalun dibentuk pula pos-pos gizi, yang beranggota masyarakat desa yang peduli dengan gizi seimbang. Mereka saling mendukung untuk mencegah stunting. Akan tetapi, satu hal yang masih sangat mengusik dan membayangi mereka adalah persoalan pernikahan usia dini.

Menggunakan pendekatan kritis feminis, kita perlu mencermati lebih saksama hubungan antara stunting dan pernikahan usia dini. Di Jerowaru saya berdiskusi dengan para perawat yang menuturkan kisah pedih mereka membantu seorang anak perempuan yang melahirkan dalam kondisi lemah dan anemia. Anak perempuan itu dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua, dan diketahui bahwa pernikahan tersebut disebabkan oleh alasan ekonomi keluarga. Pernikahan usia dini dapat mengakibatkan bermacam-macam ancaman kesehatan bagi anak perempuan, termasuk mengakibatkan kematian ketika proses persalinan disebabkan berbagai komplikasi. Begitu pula risiko pada bayi yang terancam kelahiran prematur, stunting, hingga kasus terburuk adalah kematian.

Secara interseksional, kita perlu memahami bahwa stunting adalah permasalahan yang berlapis-lapis. Interseksionalitas sebagai kerangka kritis dapat membantu kita memahami kelindan sosial, ekonomi, kultural, maupun identitas yang saling berinteraksi dan menyibak diskriminasi dan kekerasan berlapis bagi perempuan dan anak. Selain edukasi tentang gizi dan jaminan akses pelayanan kesehatan, diperlukan pula perspektif kesehatan yang tegas berbasis kesetaraan. Sehingga, dalam menanggulangi stunting, diperhatikan pula soal-soal ketimpangan gender, ketimpangan kelas, serta nilai-nilai yang masih diskriminatif dalam masyarakat yang merintangi cita-cita percepatan eliminasi stunting. (*)

---

SARAS DEWIDosen filsafat Universitas Indonesia

 
Period3 Dec 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleStunting Melalui Lensa Interseksional
    Media name/outletJawaPos
    Country/TerritoryIndonesia
    Date3/12/23
    PersonsLG. Saraswati Putri

Keywords

  • saras dewi
  • stunting
  • lensa
  • Interseksionalitas
  • Makanan Tambahan