Risiko Likuiditas Membayangi P2P Lending: Apa yang Harus Diketahui Investor dan Peminjam?

Press/Media

Description

1. Permasalahan gagal bayar pada P2P Lending

Permasalahan gagal bayar sebagaimana yang dialami oleh PT Igrow Resources Indonesia, PT Tani Fund Madani Indonesia dan PT Investree Radhika Jaya  memberikan gambaran bahwa fasilitas P2P Lending tidak luput dari kerugian. Inovasi peer-to-peer lending pada fintech atau sering disebut sebagai P2P Lending hadir sebagai salah satu opsi pendanaan yang praktis melalui teknologi informasi atau aplikasi berbasis online.

Namun dibalik kemudahannya, terdapat risiko gagal bayar yang menjadi ancaman terbesar bagi investor dan perusahaan P2P Lending itu sendiri. Apabila saat jatuh tempo pengembalian, penyelenggara P2P Lending tidak memiliki kecukupan dana, maka hal tersebut akan merugikan pihak investor yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara P2P Lending.

Permasalahan kredit macet dapat disebabkan oleh profil dan perilaku peminjam yang berisiko, kondisi perekonomian yang tidak stabil, tata kelola pada perusahaan P2P Lending yang tidak efektif dan efisien serta regulasi yang belum memadai. Setiap tahun, OJK melaksanakan pengukuran TWP90 pada perusahaan P2P Lending atau tingkat wanprestasi penyelesaian kewajiban perjanjian pendanaan di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.

Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh OJK hingga tahun 2023, tingkat wanprestasi pembayaran P2P Lending mengalami kenaikan dari 2% menjadi 3%. Kenaikan tersebut timbul karena terdapat 23 perusahaan P2P Lending yang mengalami tingkat wanprestasi lebih dari 5%.

2. Model Bisnis Fintech dan Implikasinya bagi Likuiditas

Model bisnis yang dijalankan oleh penyelenggara P2P Lending memiliki daya tarik bagi investor dan peminjam. Investor dapat memperoleh imbal hasil  hingga 20% per tahun tergantung dari jumlah dan jenis pinjaman.

Sedangkan bagi peminjam, kemudahan dalam pengajuan dana dan tersedianya fasilitas pinjaman tanpa agunan, dapat memperluas akses pendanaan hingga kepada segmen unbanked dan unbankable dengan nominal pinjaman maksimal sebesar Rp 2.000.000.000,00. Calon peminjam wajib melakukan registrasi dan memenuhi persyaratan pengajuan pinjaman berupa dokumen pendukung yang memuat identitas, tujuan pendanaan, profil keuangannya dan objek jaminan jika ada.

Selanjutnya, penyelenggara P2P Lending menganalisis dan memilih calon peminjam yang layak serta menetapkan tingkat risikonya. Investor kemudian melakukan analisis dan seleksi terhadap calon peminjam yang telah dipilih oleh penyelenggara P2P Lending. Apabila investor setuju untuk memberikan pendanaan, maka perjanjian pendanaan antara investor dan peminjam akan dituangkan dalam dokumen elektronik.

Penyelenggaraan P2P Lending juga wajib melaksanakan perjanjian dengan investor yang di dalamnya memuat besar komisi, jangka waktu, ketentuan denda, mekanisme penagihan dan mitigasi risiko dalam hal terjadi pendanaan macet.

Selain itu, Penyelenggara P2P Lending dapat melakukan kerja sama dengan lembaga jasa keuangan, lembaga non keuangan, instansi pemerintah dan lembaga lainnya dalam hal pengelolaan pendanaan hingga pertukaran informasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Tantangan yang mungkin dihadapi oleh P2P Lending fintech adalah terjadinya fluktuasi arus kas seiring dengan perubahan jumlah investor dan peminjam. Hal ini dapat menyebabkan P2P Lending mengalami kekurangan likuiditas pada saat jumlah peminjam yang gagal bayar meningkat.

Selain itu, pada periode pencairan pinjaman, P2P Lending tidak dapat mencairkan pinjaman secara instan karena P2P Lending harus menunggu peminjam membayar kembali pinjamannya. Sehubungan dengan hal tersebut, P2P Lending perlu untuk menilai kelayakan kredit calon peminjam sebagai upaya dalam mengurangi risiko gagal bayar. Pengelolaan arus kas dengan juga menjadi poin penting dalam mengantisipasi fluktuasi arus kas sehingga hal ini dapat membantu P2P Lending untuk menghindari kekurangan likuiditas.

3. Bagaimana platform P2P lending mengelola risiko likuiditas

Risiko likuiditas ada di bank, pasar, dan P2P Lending. Penyedia platform aplikasi P2P Lending yang melakukan investasi menggunakan dana investor bisa mengalami kesulitan mengembalikan dana ke investor (Bao, T. et al., 2023).

Likuiditas didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo. Dalam konteks perusahaan pinjaman P2P, pendapatan (uang tunai) terutama berasal dari investasi investor, komisi transaksi, dan biaya keanggotaan, sedangkan pengeluaran mereka (keluaran tunai) mencakup penarikan investor, biaya operasi, dan kompensasi kepada investor atas kegagalan membayar hutang peminjam untuk memenuhi kewajiban mereka. Dalam mengelola risiko likuiditasnya platform P2P Lending mengandalkan beberapa strategi kunci. Pertama, mereka memanfaatkan teknologi dan analisis data untuk memahami perilaku peminjam dan pemberi pinjaman, serta mendeteksi tren yang mungkin mempengaruhi likuiditas. Sebagai langkah tambahan, mereka berkolaborasi dengan institusi keuangan lain sebagai sumber pendanaan alternatif  atau sebagai mitra yang dapat membantu saat menghadapi tantangan likuiditas. (Ditambahkan risiko investor)

Dalam regulasi P2P lending di Indonesia, berdasarkan POJK, hal-hal terkait jaminan tidak diatur secara detail; namun, jika jaminan ada, dokumen terkait harus disertakan oleh calon peminjam. Dengan demikian, keputusan mengenai jaminan sepenuhnya berada di tangan penyelenggara P2P Lending.

Sementara itu, soal BI Checking, POJK 10/2022 Pasal 40 tidak menjelaskannya secara spesifik, namun menekankan bahwa Lembaga Penyedia Bukti Biaya Transaksi Infrastruktur (LPBBTI) dapat berkolaborasi dalam pertukaran informasi dengan pihak lain.

Salah satu penyelenggara P2P lending, Danain, memiliki diferensiasi fitur dimana pinjamannya berbasis agunan, menjamin keamanan investasi yang dilakukan investor. Dibedakan dari banyak P2P lending lainnya, seluruh pendanaan di Danain dilindungi dengan agunan berharga.

Saat ini, agunan tersebut terdiri dari emas perhiasan atau logam mulia, yang dikenal memiliki nilai yang stabil dan cenderung meningkat. Selain itu, likuiditas emas juga tinggi, sehingga memudahkan dalam penjualan jika diperlukan. Untuk menambah lapisan keamanan, Danain bermitra dengan PT Mas Agung Sejahtera (PT MAS), salah satu perusahaan pergadaian swasta terbesar di Indonesia, yang memastikan keakuratan taksasi dan keaslian emas agunan. Semua proses ini dirancang untuk memberikan rasa aman dan percaya diri bagi para investor bahwa dana mereka dijamin dan dilindungi.

Platform P2P lending juga melakukan profiling terhadap calon peminjam, Dalam platform P2P lending, proses seleksi dan profiling peminjam merupakan langkah krusial. Setelah borrower mengajukan pinjaman, platform akan menganalisis dan menilai kelayakan borrower untuk menerima pinjaman. Selain itu, platform juga menetapkan tingkat risiko dari masing-masing borrower.

Borrower yang terpilih kemudian ditempatkan di marketplace P2P lending online dengan informasi lengkap mengenai profil dan risiko mereka. Informasi ini selanjutnya digunakan oleh investor P2P lending untuk menganalisis dan memilih borrower mana yang akan didanai.

Dalam industri P2P lending di Indonesia, masing-masing pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang jelas. Investor berhak mendapatkan informasi transparan tentang profil dan risiko peminjam, menerima pengembalian modal dan bunga sesuai kesepakatan, dan mengajukan keluhan ke platform atau OJK. Mereka juga bertanggung jawab memahami risiko dan melakukan due diligence sebelum berinvestasi.

Sementara itu, platform penyelenggara wajib memiliki izin dari OJK, menyediakan informasi yang akurat, melakukan verifikasi calon peminjam, memisahkan rekening operasional, melaporkan operasional ke OJK, dan menyelesaikan keluhan. Adapun peminjam, mereka berhak mendapatkan informasi jelas tentang pinjaman dan perlindungan data pribadi, serta memiliki tanggung jawab mengembalikan pinjaman sesuai kesepakatan dan memberikan informasi yang benar saat mengajukan pinjaman.

Selain itu, untuk memastikan pemahaman yang mendalam tentang risiko bagi pihak yang terlibat, platform tersebut juga berupaya aktif dalam melakukan kampanye pendidikan bagi pemberi pinjaman dan peminjam mengenai risiko dan dinamika dari P2P Lending. (M. Gao et al., 2021)

4. Regulasi dan Pengawasan Likuiditas Fintech

Regulasi dan pengawasan likuiditas fintech P2P telah menjadi fokus utama regulator di Indonesia untuk memastikan stabilitas sektor keuangan dan perlindungan konsumen, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan, termasuk fintech P2P, telah mengeluarkan sejumlah regulasi dan inisiatif pengawasan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending) untuk mengembangkan industri keuangan yang dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan, mempermudah dan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha melalui suatu layanan pendanaan berbasis teknologi informasi. Berkenaan dengan risiko likuiditas, salah satu substansi pengaturan dalam POJK LPBBTI tersebut adalah penyelenggara (Platform P2P Lending) wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12.500.000.000 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah), juga sebagai liquidity buffer.

Ringkasan peraturan OJK tersebut antara lain mengenai kerangka hukum untuk operasi fintech P2P di Indonesia, meliputi: kriteria dan prosedur pendaftaran dan perizinan, batasan pinjaman maksimum dan minimum, Ketentuan mengenai perlindungan data pribadi, Penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Sementara peraturan terbaru telah di update Peraturan Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/POJK.05/2022): Fokus utama dari peraturan ini adalah meningkatkan keamanan dan ketahanan sektor P2P Lending, antara lain dengan: Menetapkan batas minimum ekuitas bagi penyelenggara P2P Lending sebagai "liquidity buffer", Menyediakan kerangka kerja untuk penyelesaian sengketa, Mendorong transparansi dengan mengharuskan penyelenggara untuk memberikan informasi yang jelas kepada pemberi pinjaman dan peminjam.

Platform P2P Lending perlu melakukan peningkatan proses penilaian kredit untuk memastikan bahwa peminjam yang diterima memiliki track record keuangan yang baik dan kemampuan untuk membayar kembali.

Selain itu, perlu dipastikan selalu ada cadangan likuiditas sesuai dengan ketentuan regulasi untuk menghadapi situasi darurat atau ketidakpastian pasar. Perlu juga dilakukan manajemen arus kas yang efektif, selalu lakukan pengelolaan arus kas dengan baik untuk mengantisipasi fluktuasi dan memastikan likuiditas yang stabil.

Bagi investor awam, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar tentang P2P Lending sebelum berinvestasi atau meminjam melalui platform P2P Lending, memahami konsep dasar P2P Lending, cara kerjanya, dan potensi risiko yang mungkin dihadapi.

 

 

Referensi:

  • Bao, T., Ding, Y., Gopal, R., & Möhlmann, M. (2023). Throwing Good Money After Bad: Risk Mitigation Strategies in the P2P Lending Platforms. Information Systems Frontiers. https://doi.org/10.1007/s10796-023-10423-4
  • M. Gao, J. Yen , M. Liu, Ph.D. (2021). Determinants of defaults on P2P Lending platforms in China. International Review of Economics and Finance
  • POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending)

*) Girindra Chandra Alam, Lintang Putri Enggaringtyas, Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

Dewi Hanggraeni, FEB Universitas Indonesia, FEB Universitas Pertamina

Period24 Oct 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleRisiko Likuiditas Membayangi P2P Lending: Apa yang Harus Diketahui Investor dan Peminjam?
    Media name/outletMerdeka News
    Country/TerritoryIndonesia
    Date24/10/23
    PersonsDewi Hanggraeni