Description
Covid-19 yang mulai masuk ke Indonesia pada Februari 2020, berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekonomi Indonesia turun drastis pada tahun 2020, dengan pertumbuhan ekonomi di Triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen (yoy). Melambat dibanding Triwulan IV-2019 yang mencapai 4,96 persen (yoy).
Sebagai respons terhadap situasi ini, pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus ekonomi nasional. Salah satunya, melalui kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit khusus bagi debitur terdampak Covid-19 yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/POJK/03/2020 dan berlaku sejak Maret 2020.
Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan kepada debitur, yang berpotensi mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya.
Kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 memberikan kelonggaran kepada perbankan, dalam melakukan restrukturisasi berupa penyederhanaan faktor penilaian kualitas kredit yang seharusnya berdasarkan pada 3 pilar (ketepatan dalam membayar, prospek usaha, dan kondisi keuangan), menjadi cukup hanya pada 1 pilar (ketepatan dalam membayar). Selain itu, kredit yang direstrukturisasi dapat dikeluarkan dari perhitungan aset berkualitas rendah.
Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap, bank sebagai lembaga intermediasi dapat mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
Kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19, yang awalnya hanya akan berlaku sampai dengan 31 Maret 2021, telah mengalami 2 kali perpanjangan, POJK No. 48/POJK.03/2020 memperpanjang kebijakan ini hingga 31 Maret 2022. Dan POJK No. 17/POJK.03/2021, memperpanjang kebijakan ini hingga 31 Maret 2023.
November 2022, OJK melalui siaran persnya, mengumumkan kebijakan tambahan. Beberapa segmen tertentu (targeted) masih mendapatkan kebijakan relaksasi restrukturisasi hingga Maret 2024. Segmen ini mencakup sektor UMKM, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar.
Efek Relaksasi Restrukturisasi Kredit
Sebelum pandemi Covid, pada 2019, kredit bank umum tumbuh 6,08 persen (yoy). Risiko kredit relatif terjaga dengan rasio Non Performing Loan (NPL) 2,53 persen dan rasio Loan at Risk (LaR) 7,89 persen. Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang tercatat dengan angka 93,64 persen, relatif baik karena pertumbuhan kredit diiringi dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Memasuki Triwulan I-2020, di masa awal pandemi Covid-19, kredit masih dapat bertumbuh sebesar 1,69 persen (qtq). Namun, pertumbuhan ini diiringi dengan kenaikan risiko kredit, seiring dengan masuknya Covid-19 di Indonesia. Hal ini tercermin dari naiknya rasio NPL dan LaR dari triwulan IV-2019, masing-masing sebesar 2,77 persen dan 8,92 persen.
Lambatnya aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19, memicu kenaikan kredit bermasalah, karena turunnya kemampuan bayar debitur. Dari sisi likuiditas, Liquidity Coverage Ratio (LCR) tercatat 212,05 persen. Atau meningkat dibanding Triwulan IV-2019 yang hanya 209,16 persen.
Hal ini, antara lain didukung oleh penerapan PSAK 71, yang mengharuskan perbankan untuk meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Triwulan II-2020, untuk mendukung masyarakat dan juga perbankan, pemerintah mulai menerapkan kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19. Hanya saja, penerapan kebijakan ini belum menunjukkan hasil yang baik bagi profil risiko kredit perbankan. Ini tercermin dari rasio NPL dan rasio LaR, yang tetap melonjak ke angka 3,11 persen dan 17,54 persen.
Terlihat bahwa pandemi Covid-19 sangat memukul kegiatan usaha dan perekonomian Indonesia, sehingga memicu penurunan kemampuan bayar debitur.
Lemahnya permintaan di sisi konsumsi maupun produksi, juga membuat permintaan terhadap kredit perbankan menurun, hingga -2,85 persen (qtq).
Menurut Finlay dan Jaaskela (2014), ketika siklus bisnis mengalami pertumbuhan, perusahaan cenderung meningkatkan penggunaan pinjaman bank. Dan ketika terjadi gangguan ekonomi, perusahaan dapat menjadi lebih konservatif dan mengurangi permintaan pinjaman bank atau bank dapat bertindak lebih hati-hati dengan meningkatkan selisih kredit atau melakukan penjatahan kredit.
Sementara Sinamo dan Hanggraeni (2022) mengatakann, perusahaan yang bergantung pada kredit, mengalami penurunan dalam belanja modal dibandingkan perusahaan lain yaitu 32,58 persen dari tahun sebelumnya (2019) atau 0,31 persen terhadap total asetnya.
Penurunan belanja modal perusahaan tersebut lebih disebabkan oleh antisipasi terhadap permintaan pasar, dibanding langkanya sumber dana investasi di pasar.
Di sisi lain, dari sisi likuiditas, penerapan kebijakan ini berhasil menyelamatkan kredit yang direstrukturisasi Covid-19 dari perhitungan aset berkualitas rendah. Ini ditandai dengan LCR perbankan yang tercatat sebesar 226,17 persen.
Jadi, apakah relaksasi restrukturisasi Covid-19 efektif dan membantu performa perbankan? Secara keseluruhan, telah banyak kredit yang menikmati skema relaksasi restrukturisasi Covid-19.
OJK mencatat, puncaknya terjadi pada Desember 2020, dengan total nilai kredit yang direstrukturisasi sebesar Rp 829,72 triliun.
Performa perbankan sejak penerapan kebijakan ini, dapat dikatakan cukup bergejolak. Dari segi risiko kredit, rasio NPL relatif terjaga dengan baik dengan nilai tertinggi pada triwulan II-2021 sebesar 3,24 persen. Tak beda jauh, dibanding kondisi sebelum pandemi (2,53 persen pada Triwulan IV-2019).
Hal ini menunjukkan pembayaran angsuran dan kualitas kredit yang baik, dengan adanya bantuan keringanan dari skema relaksasi restrukturisasi Covid-19.
Tidak sejalan dengan rasio NPL, rasio LaR yang sempat terbang ke angka 17,54 persen pada Triwulan II-2020, kembali naik ke angka 23,28 persen pada Triwulan IV-2020.
Kebijakan mengecualikan kredit restrukturisasi Covid-19 dari perhitungan aset berkualitas rendah, ternyata tidak dapat membantu menjaga rasio ini. Meski seiring berjalannya waktu, rasio ini perlahan mulai turun.
Fakta tersebut dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, cukup banyak kredit di luar penerima skema restrukturisasi Covid-19 yang mengalami pemburukan. Kedua, pemburukan kualitas kredit tidak diikuti dengan pertumbuhan portofolio kredit yang baik.
Pada Triwulan II-2023, rasio LaR berada pada angka 13,17 persen. Jauh di atas nilai LaR sebelum pandemi Covid-19, yang tercatat 7,89 persen pada Triwulan IV-2019.
Dari sisi likuiditas, restrukturisasi Covid-19 dan pencadangan CKPN berdampak pada kenaikan rasio LCR, yang tercatat sebesar 230,24 persen pada triwulan II-2023. Ini menunjukkan, likuiditas perbankan berada dalam kondisi yang sangat baik.
Kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 yang telah diterapkan pemerintah di masa pandemi Covid-19, memang berhasil membantu performa perbankan. Utamanya, dalam segi kualitas kredit yang terlihat dari rasio NPL, dan likuiditasnya dalam rasio LCR. Akan tetapi, efektiviitas kebijakan ini kurang terlihat dalam mendukung performa rasio perbankan lainnya, seperti LaR. Karena rasio perbankan tersebut tidak hanya menggambarkan kualitas kredit, tetapi juga kemungkinan kredit yang memburuk di masa depan.
Pada akhirnya, kebijakan untuk menjaga kualitas kredit perlu juga diimbangi dengan performa penyaluran kredit perbankan yang optimal. Sehingga, akan lebih efektif apabila kebijakan ini dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung perbankan, dalam menyalurkan kredit dengan baik di masa pandemi.
Cita Pelangi Putri Sulistyoadi (Magister Manajemen Universitas Indonesia), Bagus Nugroho (Magister Manajemen Universitas Indonesia), Dewi Hanggraeni (Universitas Indonesia, Universitas Pertamina)
Subject
Ekonomi Bisnis
Period | 25 Oct 2023 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Relaksasi Restrukturisasi Kredit Di Masa Covid-19, Sudahkah Efektif? Media name/outlet Rakyat Merdeka Country/Territory Indonesia Date 25/10/23 Persons Dewi Hanggraeni
Keywords
- Restrukturisasi Kredit
- Kredit Perbankan
- Restrukturisasi Kredit Di Masa Covid-19
- Kualitas Kredit