Description
Kata-kata di dalam puisi Joko Pinurbo tidak saja elok dalam istilah maupun cerdik dalam penempatan dengan kepiawaian limpahan metafora, tetapi ada yang sangat bernyawa dalam kata-katanya. Puisi-puisi itu adalah luapan emosi yang digenapi ke dalam barisan kata-kata yang mengingatkan para pembacanya bahwa merasakan sesuatu; sedih, marah, senang, lucu, haru, adalah arti sesungguhnya untuk hidup menjadi manusia. Puisi Joko Pinurbo adalah perjamuan yang bermukim di dalam hati para pembacanya, kata-katanya menetap dan membuat keseharian menjadi istimewa.
Secara filosofis, bahasa puitis memiliki kekuatan untuk menyampaikan realitas dengan cara-cara tertentu. Penyair dalam posisi ini meramu ulang perasaannya menjadi susunan kata yang sarat akan makna. Pemaknaan ini menjadi lebih luas daripada rasa milik penyair saja. Puisi tersebut juga adalah pesan antarsubjek yang memperkaya dan melahirkan makna baru terus-menerus. Puisi dalam konteks ini adalah cara kata-kata berkembang, menjangkau di luar batasan-batasan yang mungkin terlalu sempit saat digunakan dalam bahasa formal akademis, atau bahkan dalam bahasa teoretis filsafat. Beragam filsuf menyanjung dan menuangkan kajian filosofis tentang kesanggupan bahasa puitis ini. Penyair dalam peran ini tidak saja menorehkan kata-kata di selembar kertas, tetapi sejatinya sedang membongkar dan merakit kembali dunia yang ia rasakan.
Dunia Joko Pinurbo tampak sederhana, tetapi bertolak dari sekelumit pandangan filosofis di atas. Dunia itu adalah hasil pemikiran mendalam yang sangat pelik. Teknik berpuisinya melibatkan kata-kata yang menggambarkan objek-objek sehari-hari yang ia rangkai sedemikian rupa, namun terlepas dari keahlian majas yang ditampilkan, ada kesungguhan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Benda keseharian itu; kopi, kamar, kamus, kebun, keranda, seolah-olah mendatangkan inspirasi pengertian baru, melebihi fungsi mereka sebagai benda mati. Puisi Joko Pinurbo, selain soal imajinasi dan kreativitas, adalah sepotong perasaan yang diberikan secara khidmat kepada orang lain. Puisi-puisi itu bukan demi gaya estetis belaka. Mereka berbicara dengan liris permasalahan yang ada di masyarakat; kekerasan, kemiskinan, hingga kelaliman penguasa:
”Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah ketika hari mulai terang, kata-kata
telah pulang dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu berebutan
kain kafan, dan dua perempuan mengucap salam:
’Siapa masih berani menemani Tuhan’”
Seperti puisi-puisinya yang selalu lapang merangkul para pembaca, Joko Pinurbo adalah sosok yang amat memperhatikan dan terlibat dengan komunitas sastra. Itulah Joko Pinurbo yang saya kenal dan kenang, seseorang yang hidupnya selalu terbuka untuk percakapan-percakapan tentang puisi. Saya membuka kembali korespondensi kami yang tersimpan di dalam surel hingga pesan pendek di ponsel semenjak tahun 2015. Ia mendorong generasi baru untuk tekun menulis dan mencintai bahasa Indonesia, untuk tegar menulis walau terasa sukar sekali untuk mencapai publikasi karya. Ia berkata pada saya, ”Bayangkan, saya baru bisa menerbitkan buku puisi saat usia saya sudah 37 tahun. ’Celana’ adalah rintisan eksperimen saya untuk mengolah cara dan gaya lain dalam dunia penulisan puisi di Indonesia. Saya melakukan itu karena cukup terganggu dengan estetika puisi yang hanya berhenti pada sophistikasi bahasa yang dipenuhi dengan busa dan bunga kata, bukan daya kata.”
Saya memikirkan pesan-pesan ini, mengenai daya kata dan hasrat yang begitu besar terhadap puisi. Inilah yang membuat saya tersadar tentang bahasa Indonesia yang lebih dari perannya sebagai medium komunikasi orang Indonesia, tetapi bahasa yang memungkinkan penggalian dan kedekatan dengan diri sendiri maupun intimasi cinta kasih kepada lingkungan kita yang sangat beragam. Sebagaimana ia bingkai secara indah dalam puisinya, Kamus Kecil:
”Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih”
Sajak Joko Pinurbo kerap membuat saya termangu, khususnya cara ia memantik kita untuk tidak melupakan kata-kata dan endapan di dalamnya, seperti kata ”peluk” misalnya, betapa pentingnya daya kata itu. Melingkupi peluk antar kekasih, tetapi juga pelukan kita kepada sosial dan Tuhan. Ini yang saya maknai dalam puisinya yang berjudul Pemeluk Agama, dialog seseorang dengan Tuhan dengan nada yang serius tetapi sekaligus ada sentilan jenaka, benarkah seseorang dianggap pemeluk agama jika orang itu malah melakukan yang sebaliknya dari ajaran perdamaian dalam agama? Ia akhiri puisi itu dengan mengatakan, ”Agama sedang kedinginan dan kesepian. Dia merindukan pelukanmu.”
Saya akan selalu merindukan diskusi filsafat dan sastra bersama Joko Pinurbo. Selain itu, tentunya canda tawa soal pahit manisnya menjadi pendukung klub sepak bola. Ia selalu mengatakan bahwa puisi adalah seorang guru yang sabar menemani momen terkelam dalam kesepian. Beristirahatlah dengan tenteram bersama sumber puisi yang kekal. (*)
Period | 5 May 2024 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Perjamuan Puisi Media name/outlet JawaPos Country/Territory Indonesia Date 5/05/24 Persons LG. Saraswati Putri
Keywords
- puisi
- joko Pinurbo
- Perjamuan