Description

Membicarakan kesehatan artinya membicarakan tingkah laku manusia (Sarafino & Smith, 2022). Sebagaimana yang kita sudah ketahui, tubuh kita dibekali dengan sistem kekebalan tubuh, yang menjadi pertahanan kita dari serangan kuman dari luar tubuh kita. Organ-organ kekebalan tubuh ini berada tersebar di seluruh tubuh kita (Tortora & Derrickson, 2021). Berbeda dari makhluk hidup lainnya, manusia juga mampu mengembangkan sendiri vaksinasi yang dapat menambah pertahanan diri kita dari serangan makhluk hidup lain dari luar diri kita yang bersifat parasit. Cukup aman bila kita ingin menyederhanakannya dengan penyimpulan bahwa manusia sebetulnya adalah makhluk hidup yang paling mampu bertahan dari serangan penyakit. Pada kenyatannya, berbagai penyakit terutama yang infeksi luar tubuh masih saja bisa diderita manusia Pandemi Covid-19 yang lalu, menjadi contoh terdekat. Belum lagi kita membahas penyakit yang sudah puluhan kalau bukan ratusan tahun ada di Nusantara seperti kusta dan TBC (WHO, 2019; www.data.who.int/countries/360/indonesia). Membangun kesehatan manusia, ternyata masih memerlukan upaya penataan perilaku lebih lanjut, tidak sekedar menyandarkan pada vaksinasi dan kekebalan alami saja.

 

Psikologi Kesehatan dan Budaya

Secara garis besar, psikologi kesehatan adalah cabang ilmu psikologi dalam konteks kesehatan, khususnya kesehatan individu dan kelompok. Psikologi secara mendasar mempelajari tingkah laku manusia dan sampai mendesain tingkah laku manusia (lihat teori besar behavioristik dari Pavlov, Skinner, atau Bandura dalam Sarwono, 2009). Masuk dalam ranah kesehatan, maka psikologi berupaya menjelaskan dan mendesain tingkah laku yang dapat menjaga dan bahkan meningkatkan kesehatan manusia.

Di sisi lain, kebudayaan adalah faktor yang jelas memberi kontribusi terhadap proses psikologis manusia. Sebagai contoh, ketika individu Indonesia memilih sumber karbohidrat, dan dihidangkan nasi dan roti, mana yang akan dipilih? Jawabannya (peluang terbesar) adalah nasi. Mengapa nasi? Nasi menjadi makanan utama orang Indonesia. Pola pikir makan itu harus nasi, menjadi ingatan utama kita terhadap makanan utama. Memilih nasi adalah tingkah laku “otomatis” saat orang Indonesia lapar.

Begitupun dengan kesehatan. Pembentukan tingkah laku sehat, dibutuhkan proses psikologis, secara individual atau massal. Sebagai contoh, tingkah laku mencuci tangan. Tingkah laku ini mungkin diajarkan secara massal di sekolah, tapi tidak menjadi kebudayaan kita. Namun saat pandemi COVID-19, mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tingkah laku yang dipaksa dan ditegakkan untuk mengurangi potensi tertular. Upaya penegakan tingkah laku ini tidak sekedar tulisan atau gambar. Iklan-iklan layanan masyarakat sampai penegak hukum dikerahkan untuk membiasakan mencuci tangan dengan sabun. Proses ini dalam psikologi masuk dalam kategori pembiasaan tingkah laku, dan pembiasaan yang terus-menerus adalah proses dari terbentuknya budaya hidup sehat.

Proses ini perlu ada penguatan lainnya yang juga bersifat kebudayaan. Sebagai contoh, latar sosial ekonomi dan suku bangsa. Sebagai contoh, kepemilikan asuransi kesehatan di Amerika Serikat cenderung dimiliki oleh kelompok sosial ekonomi tinggi (Macintyre, 1997 dalam Sarwono, 2014). Contoh lain, pola makan mengkonsumsi makanan bersantan lebih dimiliki oleh individu dari suku-suku bangsa dari Sumatera. Dengan demikian psikologi kesehatan dan kebudayaan mempunyai hubungan denan memperhatikan latar-latar khusus dan umum.

 

Memutus Penularan: Kombinasi Psikologi dan Budaya

Sebagaimana kita ketahui, bahwa penularan COVID-19 ini paling mudah melalui interaksi fisik yang erat. Pola penyebaran dan penularan COVID-19 ini menyerupai penularan penyakit kerumunan (Diamond, 2013; Wonser, & Boyns, 2016). Tidak mengherankan jika kebanyakan dari kita merasa rentan terhadap Covid-19 tanpa mengenal tempat (Menaldi, Salsabila, Ramadhanti, Putri, & Meidina 2020). Masih ingat dengan serangan COVID-19 varian delta di India saat jutaan orang mandi bersama di sungai Gangga (Meinarno, 2021)?

Kerumunan dan pola penularan ini yang harus diputus. Bagaimana memutusnya? Apakah memecah kerumunan seperti pembubaran demontrasi? Tentu tidak. Kita harus pahami dulu, adakah modal-modal dasar psikologis dan latar sosial umum yang dapat digunakan?

Secara umum, kita membuat dulu himbauan. Himbauan ini sangat mungkin dinyatakan oleh para tenaga kesehatan. Himbaun kepada masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang wujudnya berkerumun. Himbauan yang kemudian dipertegas oleh tokoh masyarakat. Di tingkat lebih tinggi jika (dan mungkin harus) sampai dibuat sanksi. Sanksi yang kuat dilanjutkan dengan paparan data penularan yang meluas. Kombinasi himbauan dan informasi yang diterima dan masuk bagi individu akan diolah. Harapannya akan terbentuk pemahaman dan tingkah laku yang mengurangi potensi penularan.

Penegakan tingkah laku mencuci tangan juga dapat diperlakukan mirip dengan pemecahan kerumuman. Penerangan cuci tangan dapat dibangun dengan menggunakan pemahaman bersuci. Sebagai contoh bagi Muslim, dalam sehari melakukan sembahyang/sholat sebanyak lima kali. Meminjam pola tadi maka promosi cuci tangan dapat juga dilakukan yakni dengan menyatakan setidaknya individu membersihkan tangannya sebanyak lima kali (yang wajib) dan sebanyak berapa kali ia keluar rumah. Menggunakan pemasangan ide ritual dan cuci tangan memudahkan penegakan salah satu dari metode 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) untuk mengurangi potensi penularan penyakit.

           

Penutup

Psikologi kesehatan dan budaya saling membutuhkan. Modal dasar pembentukan tingkah laku (baru) tidak lepas dari kesiapan individu. Sementara individu, tanpa intervensi sudah hidup dengan pola-pola dari tempat dia tumbuh dan hidup. Sementara, kesiapan individu adalah kebudayaan yang menjadi acuan hidupnya. Dengan demikian menjadi penting bagi pengampu kebijakan (stakeholder) khususnya di bidang kesehatan untuk dapat memahami cara pikir dan budaya yang ada di sekitarnya.

 

 

Referensi:

Diamond, J. (2013). Bedil, kuman, dan baja. Terjemahan. KPG. Jakarta.

Meinarno, EA. (2021). Psikologi dalam Pandemi: Kontribusi, Kerja Sama Lintas Disiplin, dan Masa Depan. Dipaparkan pada acara Kuliah Umum Psikologi dengan tema “Membumikan Kearifan Lokal Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Covid-19” di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah, 3 Oktober 2021.

Menaldi, A., Salsabila, G., Ramadhanti, N., Putri, FD., Meidina, A. 2020: Kembali ke Perilaku Sehat. Buletin KPIN, 6(05 Maret). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/549-2020-kembali-ke-perilaku-sehat

Sarafino, E.P., Smith, T., W. (2022). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions, 10th Edition. USA: Wiley.

Sarwono, SW. (2009). Pengantar psikologi umum. Penyunting Eko A Meinarno. Jakarta. Rajawali Pers.

Sarwono, SW. (2014). Psikologi lintas budaya. Penyunting Eko A Meinarno dan Lathifah Hanum. Jakarta. Rajawali Pers.

Tortora, G. J., Derrickson, B. (2021). Principles of anatomy and physiology (16th Ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

WHO. www.data.who.int/countries/360/indonesia. Diakses pada Rabu 10 Mei 2023.

Wonser, R., & Boyns, D. (2016). Between the living and undead: How zombie cinema reflects the social construction of risk, the anxious self, and disease pandemic. The Sociological Quarterly, 57(4), 628-653.

Period1 May 2023

Media contributions

1

Media contributions