Peran Orangtua Dalam Mengawasi Penggunaan Gawai Berlebihan Pada Anak

Press/Media

Description

oleh Hasyim Asy’ari, S.Psi, M.Psi.T. (Dosen dan Peneliti di Universitas Indonesia).

 

JAKARTA, Jakarta.Suaramerdeka.com,- Fenomena kecanduan gawai pada anak meningkat dalam beberapa tahun terakhir, jumlah orangtua yang konsultasi ke lembaga-lembaga perlindungan anak, psikolog dan psikiatri juga mengalami peningkatan.

Kecenderungan meningkatnya kasus anak kecanduan gawai tersebut terkait dengan tingginya penetrasi internet di Indonesia.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan sebanyak 52,76% anak usia dini 5-6 tahun sudah menggunakan gawai untuk mengakses internet, sementara sebanyak 18,79% anak usia di bawah 4 tahun juga sudah menggunakan gawai untuk mengakses internet.

Disebutkan juga hasil penelusuran data dari Departemen Medik Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM dalam beberpa tahun terakhir ini menunjukkan sejumlah 2.933 remaja mengalami kecanduan internet dengan peningkatan durasi penggunaan dari 7.27 jam menjadi 11.6 jam per hari.

Hal ini juga terjadi pada anak-anak usia Sekolah Dasar yang ditunjukkan sejak tahun 2019 hingga sekarang banyak kasus anak dengan gangguan jiwa disebabkan karena kecanduan game.

Gawai atau gadget pada dasarnya merupakan sebuah inovasi dari teknologi sebagai alat komunikasi. Saat ini gawai memberikan banyak fasilitas dan fitur yang beragam yang bisa berfungsi sebagai media hiburan.

Dengan fitur yang menarik dan mudah dioperasikan, membuat gawai tersebut bisa digunakan oleh semua usia, dari anak-anak hingga dewasa.

Pada anak-anak penggunaan gawai secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif yang bisa mempengaruhi kesehatan fisik, seperti anak rentan mengalami masalah penglihatan, kekauan, cidera tulang belakang karena posisi duduk, maupun permasalahan psikologis seperti hambatan perkembangan interaksi sosial pada anak serta kecanduan gawai (Miranti & Putri, 2021).

Salah satu bentuk kecanduan gawai yang sedang menjadi banyak perhatian publik adalah screen dependency disorder (SDD) atau disebut dengan gangguan ketergantungan terhadap layar gawai.

Menurut Sigman, (2017) screen dependency disorder dapat mempengaruhi fungsi otak pada anak, sehingga anak akan mengalami fokus yang rendah, gangguan tidur dan perubahan mood yang drastis.

Prevalensi kecanduan terkait layar gawai mencerminkan gangguan pemrosesan imbalan neurologis dan mekanisme kontrol impuls. Aasosiasi ini muncul antara gangguan ketergantungan layar (SDD) dan polimorfisme neurogenetikspesifik, jaringan saraf abnormal dan fungsi saraf. (Sigman, 2017).

Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya kecanduan penggunaan gawai pada anak, salah satunya adalah peran orang dewasa dalam hal ini orangtua atau guru yang memiliki keterbatasan pengetahuan dalam penanggulangan penggunaan gawai berlebihan pada anak didik mereka.

Dari hasil pengamatan di lapangan, para orangtua mengalami kekhawatiran anak akan kecanduan gawai akibat dari sekolah online selama pandemi Covid-19, anak terbiasa menggunakan gawai sebagai media belajar anak.

Alih-alih memberikan anak gawai untuk belajar, anak-anak justru mulai mengenal fitur-fitur dan permainan yang menjadi daya tarik mereka untuk terus bermain gawai (Rianti & Aminah, 2021).

Fenomena kasus kecanduan gawai pada anak-anak menjadi semakin meresahkan ketika masyarakat justru tidak tahu harus berbuat apa. Guru sebagai agen pembaharu (agent of change) merupakan bagian terpenting dalam lingkup pendidikan anak.

Sebagai katalisator, guru memiliki peran pembawa perubahan kepada anak didik yang pada awalnya tidak tahu menjadi tahu berdasarkan hasil proses kegiatan belajar mengajar dan penerapan nilai-nilai positif pada anak didiknya dalam beberapa aspek.

Aspek perubahan yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didiknya tidak hanya fokus pada aspek kognitifnya saja, melainkan harus berdampak pada aspek afeksi, sosial dan psikomotor anak (Gagne, 1977).

Artinya terkait dengan penanggulangan dampak penggunaan gawai berlebihan pada anak juga salah satu menjadi tanggungjawab guru sebagai linker atau penghubung antara anak dan orangtua peserta didik. (Shoemaker & Rogers, 1991).

Beberapa edukasi yang telah dilakukan di beberapa instansi pendidikan hanya bersifat informasi dan himbauan tanpa melibatkan proses yang menyeluruh melibatkan beberapa pihak untuk mengubah perilaku kecanduan gawai pada anak.

Berdasarkan fenomena tersebut, perlunya kolaborasi bersama antara pihak sekolah dalam hal ini guru dan orang tua dalam memberikan kesadaran melalui berbagai kegiatan edukasi menyeluruh terkait dampak penggunaan gawai berlebihan.

Salah satu program untuk mewujudkan hal tersebut, penulis membuat kegiatan pelatihan untuk para peserta didik dalam penanggulangan dampak penggunaan gawai berlebihan pada anak-anak di Depok Jawa Barat.

Sasaran kegiatan ini fokus pada edukasi dan pelatihan terhadap anak-anak usia Sekolah Dasar. Sebelum dilakukan edukasi, penulis melakukan survey dan wawancara untuk melihat gambaran permasalahan yang lebih spesifik yang dialami oleh anak-anak melalui orang tua peserta didik dan guru.

Hasil survey menunjukkan bahwa anak-anak mengalami permasalahan psikologis seperti perubahan mood, ketidakstabilan emosi, tantrum, konsentrasi menurun dan beberapa mengalami permasalahan fisik seprti keluhan pada leher belakang dan penglihatan. 

Penulis bersama mahasiwa Bisnis Kreatif Universitas Indonesia kemudian melakukan program edukasi kepada para peserta didik sebagai bentuk intervensi untuk mengubah perilaku penggunaan gawai berlebihan pada anak.

Intervensi dilakukan dengan teknik bermain peran atau roleplay sehingga peserta didik dengan mudah memahami pesan yang disampaikan oleh mahasiswa.

Para mahasiswa memerankan beberapa tokoh yang menceritakan tentang dampak negatif terhadap anak-anak yang mengalami kecanduan gawai berlebihan.

Kegiatan bermain peran yang dikisahkan melalui acting, narasi dan video ini berhasil memberikan kesadaran kepada anak-anak akan bahaya menggunakan gawai berlebihan pada anak.

Tidak berhenti sampai di situ, anak-anak kemudian diajak untuk berkomitmen melalui kampanye edukasi dengan menyematkan cap tangan pada spanduk dan mendeklarasikan stop penggunaan gawai berlebihan. 

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan kesadaran pada anak akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan gawai berlebihan.

Dan tentunya dampak postif dari kegiatan ini ke diperlukan kolaborasi aktif antara pihak sekolah dan orangtua di rumah dalam memberikan pengawasan dan kontrol terhadap anak ketika menggunakan gawai selama di rumah.

Sehingga perubahan terjadi bukan hanya dalam ranah kognitif anak, akan tetapi termanifestasi dalam perilaku anak sehari-hari baik di rumah maupaun di sekolah. (bb)

 

 

 

Referensi:

Gagne, Robert M. (1977). The Conditions of Learning, New York: Holt, Rinehart and Winston

 

Miranti, P., & Putri, L. D. (2021). Waspadai Dampak Penggunaan Gadget Terhadap

Perkembangan Sosial Anak Usia Dini. Jurnal Cendekiawan Ilmiah PLS6

Rianti, E., & Aminah, N. A. (2021). Dampak Pandemi, Orang Tua Khawatir Anak Kecanduan Gadget

Rizaty, A, Monavia (2023).  Sebanyak 33, 4% Anak Usia Dini Sudah Main Ponsel. Diakses melalui https://dataindonesia.id/internet/detail/sebanyak-334-anak-usia-dini-di-indonesia-sudah-main-ponsel

Shoemaker, R. E., & Rogers, E. M. (n.d.). Communication of innovations: a cross-cultural approach (Vol. 15). 

Sigman, A. (2017). Screen Dependency Disorders: a new challenge for child neurology. Journal of the International Child Neurology Association1(1). https://doi.org/10.17724/jicna.2017.119 

 

Period21 Nov 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitlePeran Orangtua Dalam Mengawasi Penggunaan Gawai Berlebihan Pada Anak
    Media name/outletSuara Merdeka
    Country/TerritoryIndonesia
    Date21/11/23
    PersonsHASYIM ASY'ARI

Keywords

  • anak
  • gawai
  • Kecanduan