Penggantian nama kawasan Kota Tua Jakarta menjadi Batavia bertentangan dengan semangat dekolonisasi

Press/Media

Description

Penggantian nama Kota Tua Jakarta menjadi Batavia oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyusul pembukaan kembali kawasan tersebut setelah proses revitalisasi bertentangan dengan semangat dekolonisasi yang gencar dilakukan di seluruh dunia.

Dekolonisasi adalah upaya melepaskan diri dari sistem, ideologi, dan cara pandang kolonial yang represif. Dekolonisasi adalah proses panjang yang masih terus dilakukan dan belum selesai.

Belakangan, praktik dekolonisasi marak dilakukan oleh museum di berbagai belahan dunia. Caranya pun berbeda-beda. Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron mengembalikan 26 koleksi Museum Quai Branly yang dijarah oleh Prancis ke negara asalnya Republik Benin.

Lalu, Rijksmuseum di Belanda justru mengakui sejarah kelam kolonialisme negerinya dengan pameran “Revolusi! Indonesia Independent” di awal tahun 2022 kemarin.

Sedangkan, Museum Barbados tidak lagi hanya menampilkan cerita tentang para pemilik perkebunan yang berbudaya Eropa. Museum kini menampilkan identitas plural masyarakat Barbados yang berakar dari perbudakan di era kolonial.

Tapi di Jakarta, semangat kolonialisme justru ingin dihidupkan kembali.

Anies menjelaskan alasan pemberian nama Batavia tersebut adalah agar wilayah Kota Tua dapat mencerminkan masa lalu di kota modern masa depan. Namun, saya melihat keputusan ini justru menunjukkan Jakarta membiarkan semangat kolonial tetap hidup.

Mengapa ini berbahaya

Batavia merupakan nama kota yang dibangun oleh  Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1621, setelah VOC meluluhlantahkan Jayakarta, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta.

Mengganti nama Kota Tua Jakarta kembali menjadi Batavia berarti merayakan kemenangan Coen. Merayakan penjajahan dan kolonialisme.

Padahal sosok Coen menuai banyak kontroversi.

Bahkan di Hoorn, kota kelahiran Coen di Belanda, keberadaan patung Coen masih menuai kontroversi hingga hari ini. Sebagian masyarakat Belanda tidak ingin lagi patung tersebut tetap ada karena menganggap Coen bukan pahlawan, tapi merupakan pembunuh massal masyarakat di Kepulauan Banda pada abad ke-17 silam.

Ironisnya, di Indonesia, nama Batavia justru diangkat lagi.

Selain itu, mengganti nama menjadi Batavia juga berarti membiarkan warisan kolonial terus dipelihara, yakni rasa rendah diri dan perasaan inferior terhadap bangsa asing.

Pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas: Eropa/Indo-Eropa, Timur Asing, dan masyarakat lokal yang saat itu disebut dengan inlander atau pribumi. Ketika itu, masyarakat Indonesia terbiasa menjadi warga kelas tiga.

Dengan membiarkan nama Batavia dipakai kembali, saya melihat justru istilah ini merendahkan diri sendiri.

Tidak hanya itu, penggantian nama ini juga mengabaikan upaya dekolonisasi yang sudah dilakukan oleh mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sejak tahun 1970-an.

Dekolonisasi ala Ali Sadikin

Pada tahun 1970-an, Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta yang menjabat saat itu, merevitalisasi kawasan Kota Tua dengan semangat dekolonisasi.

Salah satu hal yang dilakukannya adalah merevitalisasi bangunan kolonial dan menggunakan ulang bangunan tersebut untuk museum. Ali Sadikin memang mendirikan berbagai museum di Kota Tua dari bangunan-bangunan kolonial, namun museum-museum tersebut sangat bernuansa Indonesia.

Ali Sadikin mengubah bangunan bekas gudang VOC menjadi Museum Bahari; menjadikan Gedung Raad van Justitie menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik; memindahkan Oud Batavia Museum ke Gedung Stadhuis Batavia dan menjadikannya Museum Sejarah Jakarta; serta mendirikan Museum Wayang di gedung yang dulunya merupakan lokasi Oud Batavia Museum.

Berdasarkan surat kabar Asia Raya dan arsip yang saya temukan di Arsip Nasional Republik Indonesia, pada zaman pendudukan Jepang pemerintah militer Jepang mengganti nama Oud Batavia Museum menjadi Museum Sedjarah Jakarta Lama.

Setelah Indonesia merdeka, museum tersebut dinasionalisasi dan pada tahun 1968 pengelolaannya diserahkan ke pemerintah DKI Jakarta. Kemudian, tahun 1974 Ali Sadikin memindahkan museum tersebut ke gedung Balai Kota (lokasi museum saat ini) dan menjadikannya Museum Sejarah Jakarta.

Upaya tersebut sangat mencerminkan semangat dekolonisasi. Walaupun, pada masa itu, kata dekolonisasi belum digunakan seperti saat ini.

Dalam rangka penelitian disertasi yang sedang saya kerjakan, saya mewawancarai Soedarmadji Damais (Kepala Museum Sejarah Jakarta tahun 1989-1999) yang terlibat dalam pembuatan Museum Sejarah Jakarta pada 1970-an di bawah kepemimpinan Ali Sadikin. Menurut Damais, saat itu Ali Sadikin memerintahkan untuk membuat museum yang memiliki semangat nasionalisme.

Damais diperintahkan oleh Ali Sadikin untuk membuat replika prasasti dari Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Sedangkan, pemerintah DKI Jakarta sendiri menampilkan koleksi prasejarah mereka di museum. Hal ini berfungsi untuk menunjukkan bahwa Jakarta sudah “eksis” jauh sebelum Batavia berdiri.

Selain itu, Ali Sadikin juga memesan lukisan berukuran 3 x 10 meter dari maestro lukis Indonesia, S. Sudjojono. Lukisan yang berjudul “Pertempuran Antara Sultan Agung dan J. P. Coen” tersebut dipasang di salah satu ruangan museum untuk mengilustrasikan semangat anti-kolonial.

Saat ini, banyak pengunjung Kota Tua kurang memahami makna yang terkandung dalam nama Batavia.

Nama Batavia dianggap lebih cocok, tidak terkesan kuno, dan segar. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dekolonisasi belum banyak dipahami, karena nama yang berbau Belanda masih dianggap lebih keren.

Lalu, mau sampai kapan mental bangsa Indonesia terus dijajah? Bukankah tugas pemerintah seharusnya adalah memerdekakan bangsanya?

Subject

Kolonialisme

Period21 Sept 2022

Media contributions

1

Media contributions

  • TitlePenggantian nama kawasan Kota Tua Jakarta menjadi Batavia bertentangan dengan semangat dekolonisasi
    Media name/outletThe Conversation
    Country/TerritoryIndonesia
    Date21/09/22
    PersonsAjeng Ayu Arainikasih