Description
Berbagai langkah kreatif lain dapat dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum mengancam warga dengan hukuman pidana.
Vaksin Covid-19 Sinovac pertama telah diberikan kepada Presiden Joko Widodo bulan Januari 2021 lalu. Distribusi dan pelaksaaan vaksinasi terus dilakukan dengan harapan semakin banyak penduduk Indonesia yang divaksin untuk mencegah dampak buruk kesehatan akibat Covid-19.
Pelaksanaan vaksinasi sebaiknya disertai ancaman pidana menurut Hendry Julian Noor dalam “Kewajiban Vaksin dan Hukum Pidana Administrasi” (Kompas, 13 Januari). Hendry meyakini penjatuhan pidana penjara dan/atau denda akan efektif mempengaruhi banyak orang untuk melaksanakan “kewajiban” vaksinasi. Argumen dengan basis utilitarianisme digunakannya: menghukum orang yang menolak vaksinasi memberi manfaat besar dan selaras dengan tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan. Pemidanaan juga diusung oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej.
Penerapan hukum pidana sebagai sarana pertama dan utama (premium remedium) bukan langkah bijak. Pengutamaan sanksi pidana dapat membatasi kebebasan individu, mengurangi manfaat sosial (societal benefit), dan membuat tumpulnya kreativitas dalam penyusunan kebijakan publik. Tulisan ini bukan menolak vaksinasi, tetapi menentang penghukuman terhadap penolak vaksinasi.
Kebebasan Individu
Suatu hukuman pidana tentu akan membatasi kebebasan individu (Husak, 2004). Kebebasan individu secara intrinsik merupakan sesuatu yang baik dan penting untuk pemenuhan berbagai tujuan hidup manusia (Rawls, 1971). Seseorang yang bebas memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang dianggap baik oleh dirinya (positive liberty) dan tidak adanya paksaan (negative liberty) (Berlin, 1969).
Vaksin yang disediakan pemerintah bentuk pelaksanaan tanggung jawab negara berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Akan tetapi pada tataran individu, vaksinasi salah satu jenis pelayanan kesehatan yang merupakan hak setiap orang (Pasal 28 H UUD 1945).
Hak ini kemudian ditegaskan kembali pada pasal 5 ayat (3) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pemidanaan terhadap penolak vaksin berarti tidak memberikan hak kepada individu untuk memilih dan menentukan sendiri jenis pelayanan kesehatan.
Kebebasan memilih dan menentukan ini menjadi isu penting jika dikaitkan dengan jenis vaksin Covid-19 yang tersedia di Indonesia. Vaksin Covid-19 terbanyak yang dibeli oleh pemerintah Indonesia adalah vaksin Sinovac. Efikasi vaksin ini diyakini sebesar 65,3% menurut pernyataan Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM). Di Brazil, efikasi vaksin Sinovac diumumkan hanya sebesar 50,4%.
Rendahnya efikasi vaksin Sinovac dibandingkan dengan vaksin produsen lain tentu mempengaruhi preferensi seseorang. Sebagai perbandingan, vaksin Pfizer dan Moderna sama-sama memiliki efikasi jauh lebih tinggi, sebesar 95%. Dengan informasi ini maka sangat rasional apabila seseorang menolak vaksin Sinovac, atau mungkin membayar lebih jika mampu, untuk memperoleh vaksin dengan efikasi lebih tinggi.
Mengurangi Manfaat Sosial
Pembatasan terhadap kebebasan individu ini dibenarkan apabila suatu perbuatan dapat merugikan orang lain (harm principle). J.S. Mill (1859) sebagai salah satu penggagas utilitarianisme meyakini bahwa pelarangan dilakukan apabila dapat memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat.
Penolakan atas vaksinasi tentu berpotensi membahayakan orang lain dan masyarakat. Seseorang yang tidak divaksin memiliki risiko tinggi tertular dan menularkan Covid-19. Semakin sedikitnya orang yang divaksin memperlambat proses kembalinya kehidupan seperti sebelum pandemik.
Akan tetapi, perhitungan manfaat sosial tidak cukup hanya mempertimbangkan dampak pada kondisi ideal: apabila semua orang bersedia menjalani vaksinasi. Dalam dunia yang tidak ideal dan serba tidak pasti, kita akan menemukan beberapa pihak yang menolak untuk divaksin. Menurut Hendry, mereka yang menolak pantas untuk disidik oleh polisi, disidangkan di pengadilan, hingga dikurung di penjara.
Biaya untuk bekerjanya aparat penegak hukum tersebut menjadi biaya sosial yang ditanggung rakyat. Biaya ini perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan dalam kalkulasi memaksimalkan manfaat (maximizing utility). Penghitungan biaya juga perlu mempertimbangkan biaya kesempatan (opportunity cost). Biaya ini berupa hilangnya kesempatan mengalokasikan anggaran penegakan hukum untuk meningkatkan sumber daya yang dibutuhkan bagi pelayanan kesehatan.
Selain itu, pemenjaraan penolak vaksin membuat kondisi penjara semakin memburuk. Pelayanan kesehatan yang buruk dan sesaknya penjara (overcrowding) dapat menjadikan penjara “katastrofe kemanusiaan” dalam pandemi ini (Sulhin, 2020). Kondisi penjara yang buruk tentu menghambat upaya reintegrasi narapidana ke masyarakat. Alhasil, manfaat pemasyarakatan di dalam penjara yang rakyat biayai menjadi tidak maksimal.
Kreativitas Kebijakan Publik
Sanksi pidana berupa penjara dan denda hanya salah satu bentuk disinsentif untuk mempengaruhi perilaku manusia. Bentuk lain yang dapat diberikan pemerintah untuk berupa insentif. Insentif berupa vaksin gratis, kemudahan akses memperoleh vaksin, hingga vaksin yang berkualitas dapat juga menggerakkan individu untuk melaksanakan vaksinasi.
Dalam perkembangannya, manusia dianggap tidak sepenuhnya rasional pertimbangkan insentif dan disinsentif. Individu terkadang memilih tindakan yang menyenangkan saat ini meskipun dalam jangka panjang kerugian lebih besar akan dideritanya (present bias). Oleh karena itu, ilmu ekonomi perilaku (behavioral economics) berkembang untuk melengkapi pemahaman atas perilaku manusia.
Berbekal ilmu ekonomi perilaku, Sunstein dan Thaler (2008) mengusulkan penggunaan “dorongan secara halus” (nudge) untuk mempengaruhi perilaku. Nudge mengonstruksi kondisi seseorang untuk memutuskan dan bertindak tanpa mengubah insentif dan disinsentif ekonomi. Dalam survei penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia, Kementerian Kesehatan bersama WHO dan UNICEF juga merekomendasikan penerapan nudge.
Salah satu bentuk nudge ialah meningkatkan dorongan sosial dari kawan atau keluarga terdekat (Milkman, 2020). Mereka memiliki pengaruh besar terhadap perilaku seseorang termasuk untuk menjalani vaksinasi. Media sosial dapat membantu amplifikasi dorongan sosial tersebut.
Milkman juga menekankan pentingnya kemudahan proses pendaftaran dan pelaksanaan vaksinasi. Birokrasi serta pengisian formulir administrasi perlu dipangkas dan dipersingkat. Selain itu, pesan pengingat dapat membantu individu yang sudah mendaftar vaksinasi agar hadir ke pusat pelayanan kesehatan. Ide kreatifnya yang lain berupa membuat tempat vaksinasi yang menyenangkan, jika perlu dengan iringan musik.
Berbagai langkah kreatif lainnya dapat dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum mengancam warga dengan hukuman pidana. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Penggunaan hukum pidana terlalu sering menandakan pemerintahan yang lemah dan malas (Rousseau, 1762).
*)Choky R. Ramadhan adalah Dosen Fakultas Hukum UI; Penasihat AdvisLab.
Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. |
Subject
Kolom
Period | 10 Mar 2021 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Pemidanaan Berlebih bagi Penolak Vaksinasi Media name/outlet hukumonline.com Country/Territory Indonesia Date 10/03/21 Persons Choky Risda Ramadhan
Keywords
- penjara
- kesehatan
- vaksin
- denda
- vaksinasi
- pidana