Orang Pintar Telaah Informasi

Press/Media

Description

Pendahuluan

Meluasnya penggunaan internet telah berdampak pada berbagai hal dalam kehidupan kita, terutama dalam pemerolehan pengetahuan. Dulu, kita hanya mengandalkan satu-dua buku sebagai sumbinformasi kita terhadap suatu hal. Misalnya, buku pintar yang disusun oleh Iwan Gayo (Buku Pintar ini menjadi fenomenal di kalangan siswa khususnya pada era tahun 1980-1990-an) yang berisi berbagai pengetahuan atau berbagai buku rangkuman berbagai pelajaran. Namun demikian, saat ini kita dapat dengan mudah menemukan berbagai informasi apapun yang kita inginkan. Misalnya saat ingin mencari tentang daftar gunung tertinggi di dunia, kita dapat mencarinya di berbagai situs yang ada dan mendapatkan banyak data mengenai nama gunung, lengkap dengan tinggi, lokasi, destinasi tujuan wisata, bahkan sampai cerita-cerita unik mengenai gunung tersebut. 

 

Penggunaan internet juga berdampak pada interaksi sosial kita. Saat ini, kita dapat dengan mudahnya menemukan informasi mengenai seseorang. Kita tinggal mengetik nama seseorang di database pencari data, dan muncullah data mengenai orang tersebut. Kita bisa mengenal orang yang ingin kita ketahui tanpa perlu bertemu langsung dan berbincang-bincang dengan orang tersebut.  

 

Beragamnya informasi yang kita temukan tentunya tidak semuanya merupakan informasi yang bisa kita percaya untuk memahami suatu informasi. Seringkali, data yang ditampilkan dalam laman di sebuah situs pertemanan atau situs pribadi bukanlah data yang sebenarnya. Walaupun demikian, banyak dari kita yang mengira bahwa data yang kita dapatkan melalui pencarian di internet merupakan data yang benar dan pada akhirnya membuat kita tertipu. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kebutuhan untuk bernalar kritis (Meinarno, 2018).

 

Nalar Kritis

Secara garis besar, nalar kritis adalah berpikir secara adil sehingga dapat membuat keputusan yang tepat dengan mempertimbangkan banyak hal berdasarkan data dan fakta yang mendukung (Kemdikbud, 2020). Untuk dapat berpikir adil kita perlu memeroleh dan memroses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi dan mengevaluasi pemikirannya sendiri, berkeadilan sosial (Kemdikbud, 2020).

 

Emmet (2001) menjelaskan bahwa sebuah keyakinan bisa diterima secara rasional bila argumentasi untuk hal tersebut lebih kuat daripada argumentasi yang menentangnya, dan begitupula sebaliknya. Dengan demikian, apapun yang dipercaya oleh seseorang belum tentu bisa diterima secara rasional, ini bergantung pada argumentasi-argumentasi yang ada mengenai hal tersebut. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengenali dan mengembangkan logika berpikir kita sendiri.

 

Logika tidak hanya terkait dengan penalaran yang tepat tetapi juga bentuk-bentuk kekeliruan berpikir (Meliono, & Hadinata, 2023). Kekeliruan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kekeliruan formal dan kekeliruan nonformal. Ketika dalil-dalil logika terkait term dan proposisi pada sebuah argumentasi dilanggar, maka akan menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih. Pada saat logika berpikir seseorang menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih, disitulah ia dapat dikatakan telah melakukan kekeliruan formal. Selanjutnya, seseorang bisa saja menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat karena faktor bahasa atau karena relevasi antara premis dan kesimpulannya. Ini yang dinamakan sebagai kekeliruan nonformal.

 

Kurangnya pengetahuan terhadap suatu hal atau menganggap bahwa kebiasaan yang sudah diterima secara umum merupakan suatu kebenaran dapat mengarahkan kita untuk melakukan kekeliruan formal atau nonformal. Selain itu kurangnya pemahaman tentang logika berpikir dapat mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa apa yang kita anggap sebagai sebuah keyakinan yang bisa diterima secara rasional ternyata merupakan hasil dari kekeliruan berpikir.

 

Peran Orang Tua

Orang tua berfungsi menjadi perpustakaan pertama bagi anak. Orang tua sebagai pendidik di rumah dan keluarga. Orang tua sedari awal membuka pengetahuan sekaligus mengajak anak untuk dapat memahami apa yang dihadapi. Fungsi keluarga satu diantaranya adalah membangun karakter anak (Markam & Rahmawati, 2018; Meinarno, 2010).

 

Berpikir kritis tidak tumbuh dengan sendirinya. Anak perlu dilatih untuk menggunakan nalar kritisnya. Ketika seorang anak sudah bisa menggunakan nalar kritisnya, maka ia akan membuat keputusan yang tepat dengan mempertimbangkan banyak hal berdasarkan data dan fakta yang mendukung (Kemdikbud, 2020). Sebisa mungkin, ia akan menghindari diri atau terhindar dari kekeliruan berpikir, baik formal maupun nonformal.

 

Orang tua juga perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis agar tidak terjebak dalam memberikan informasi yang salah kepada anak ataupun terjebak dalam logika berpikir yang salah. Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2012 mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia terjebak pada nalar pikir yang sebatas menghafal (Abduhzen, 2014). Padahal bernalar kritis dapat membantu individu, dalam hal ini anak, untuk lebih terbuka wawasan sampai menghargai pandangan yang berbeda.

 

Merujuk pada Iley (2005) orang tua dapat menggali kegiatan anak dengan cara bertanya, mendengarkan, sampai memberi umpan balik. Saat bertanya, pertanyaan yang dibangun tidak berhenti sampai “apa”. Orang tua bertanya lebih dalam dengan ide pertanyaan "kapan”, “mengapa”, sampai pada “bagaimana”.

 

Kerja sama antara ibu dan ayah untuk dapat membangun kemampuan nalar kritis. Temuan Chandra (2008 dalam Chandra 2009) menunjukkan secara khusus pada ibu, bahwa ketika ibu mengajar pada anak dengan cara bertanya, menjelaskan, dan berpikir yang memadai, anak akan merespon dalam bentuk mampu mempertanyakan, mengambil inisiatif, dan memberi penilaian. Sangat mungkin kemampuan nalar kritis ini akan mengarahkan pada terbentuknya watak mandiri. Dewantara pernah menuliskan bahwa kemandirian membutuhkan kemampuan berpikir (Dewantara ([1944]2004). Berpiki kritis juga berpotensi mengurangi peluang anak dari cara pikir melompat atau heuristik. Anak akan mengambil keputusan dalam hidupnya lebih hati-hati dan mengendalikan emosi (Maftukha, & Istiqomah, 2023).

 

Penutup

Ada berbagai macam cara untuk mengembangkan kemampuan nalar kritis. Yang pada intinya adalah bisa melatih anak untuk berpikir lebih jauh dari sekedar menjawab ‘apa…’. Kemampuan bernalar kritis merupakan kemampuan yang dibutuhkan bagi seorang anak untuk dapat mengambil keputusan secara tepat untuk berbagai hal di dalam kehidupannya. Orang tua memiliki peranan penting untuk mengembangkan nalar kritis ini. Dari keluarga beranjak ke sekolah. Dan dari sekolah ke masyarakat.

Subject

Berpikir Kritis

Period2 Oct 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleOrang Pintar Telaah Informasi
    Media name/outletBuletin KPIN
    Country/TerritoryIndonesia
    Date2/10/23
    PersonsAirin Yustikarini Saleh