Menghayati Subak

Press/Media

Description

Subak adalah aliran pengetahuan yang telah mengisi pemikiran manusia semenjak ribuan tahun lamanya. Laksana air yang menjadi inti sari dari kehidupan ini, subak adalah filosofi mengenai gerak air beserta kehidupan yang ia sangga.

BAGI masyarakat Bali, subak mengendapkan ingatan tentang ajaran leluhur mengenai kebijaksanaan dalam bertani, begitu pula keterhubungan siklus kehidupan dalam alam melalui percikan air. Air dalam pengertian ini memenuhi tidak saja raga seseorang, tetapi kebatinannya pula. Itu mengapa agama Hindu di Bali disebut sebagai agama Tirtha. Kepercayaan bahwa air sebagai esensi akan membawa pencerahan dan pikiran yang baik. Air menyertai setiap tahap persembahyangan dan upacara keagamaan, membasuh kemungkaran sehingga keseimbangan dapat tercapai.

Subak sudah semestinya dilestarikan, baik dalam fungsinya sebagai teknologi pengairan maupun sebagai sumber inspirasi nilai-nilai yang melingkupi kelekatan relasi manusia, alam, dan Tuhan. Akan tetapi, pada kenyataannya, subak tengah berada dalam ancaman. Perubahan yang pesat terjadi di Bali karena modernisasi dan pembangunan industri pariwisata yang kencang tanpa kendali berbenturan dengan prinsip sosial dan ekologis dari subak. Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dibahas mengenai ekosistem subak yang semakin tergerus. Permasalahan sedemikian rumit, dan tiap harinya seperti berpacu dengan waktu bagaimana harus menyelamatkan subak dari kehancuran? Dari hasil pertemuan yang melibatkan pemerintah, akademisi, hingga perangkat desa adat dan pekaseh (ketua subak), disampaikan kondisi kegentingan bahwa Bali tengah menghadapi persoalan alih fungsi lahan pertanian secara cepat dan masif, krisis ketersediaan air, hingga menurunnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Persoalan-persoalan ini adalah akibat langsung dari kebijakan dan penerapan pariwisata yang abai terhadap prinsip kesinambungan masyarakat dan lingkungan hidup setempat.

Saya berdiskusi dengan para peneliti dan pemerhati subak, I Made Geria, yang merupakan seorang peneliti arkeologi dari BRIN yang melakukan pendalaman khususnya pada aspek keterhubungan subak dengan titik-titik pura pemuliaan air dari masa kuno. Dalam penelitiannya Geria menyampaikan bahwa subak merupakan benteng peradaban Bali. Ia juga bercerita tentang upacara magpag toya yang merupakan tindakan simbolis menjemput air sebelum kemudian diselenggarakan pembersihan desa oleh para warga petani subak secara bersama-sama. Ia juga bercerita tentang tinggalan megalitik yang berwujud takhta batu di wilayah sawah yang ditujukan sebagai pemujaan yang tersambung dengan titik suci di wilayah Danau Tamblingan. Temuan penting yang menjadi dasar ilmiah dari pengetahuan kita tentang kondisi subak saat ini adalah pemodelan yang ia susun mengukur tingkat pembangunan di wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) dan alih fungsi lahan yang terjadi. Ia mengkhawatirkan dalam waktu dekat kita akan kehilangan subak sepenuhnya jika tidak berbenah pola pikir, kebijakan, dan juga cara mengatur antar kelembagaan. Sebab, pelestarian subak adalah isu lintas kementerian dan kelembagaan yang melibatkan aspek pertanian, pendidikan dan kebudayaan, juga desa.

”Menyelamatkan subak adalah menyelamatkan Bali.” Kalimat itu disampaikan oleh Iwan Dewantama, seorang peneliti biodinamika dan penggiat lingkungan hidup di Bali. Saya sepaham dengan pandangan ini, sebab Bali adalah subaknya, dan subak adalah testamen tentang keterhubungan antara benih, tanah, air, hutan, sungai, gunung, hingga lautan. Dewantama mengatakan bahwa subak tidak dapat dipecah-pecah pengertiannya. Ia harus dimengerti secara dinamis sebagai saluran energi dalam siklus hidup. Keterjalinan inilah yang disebut sebagai filosofi nyegara gunung, bahwa dari alam kita dapat menekuni saling bertautannya dari segara hingga gunung.

Dalam pengalaman saya mempelajari filosofi pertanian yang terhubung erat dengan ritual tarian yang disakralkan, saya berkesimpulan bahwa subak adalah teknologi hasil karya kecerdasan dan juga empati masyarakat masa lampau, yang bekerja sama, berkelindan dengan alam di sekitarnya. Sebagai teknologi, subak adalah karya seni yang indah, keindahan yang mengikuti tubuh bumi, lekuk lereng gunung, yang mengerti air sebagai elemen material yang menjadi dasar hidup, sekaligus air sebagai muatan spiritual manusia. Ini yang saya sebut sisi sekala (yang tampak) dan sisi niskala (tak tampak) dari subak, bahwa secara fisik subak adalah perjalanan air menuju setiap sawah beserta berbagai makhluk yang menghidupi ekosistem tersebut. Pada saat yang bersamaan subak adalah percakapan dengan yang suci, suatu persembahyangan kepada sanghyang.

Subak adalah simbol pertarungan ruang yang tengah terjadi di Bali. Subak sebagai idea adalah cita-cita tentang air sebagai the commons, air sebagai sumber hidup komunal yang dipertanggungjawabkan bersama-sama secara demokratis dan egalitarian. Kesetaraan dan kolektivisme ini berlawanan dengan deru privatisasi, eksploitasi, dan kapitalisasi lingkungan hidup yang terjadi di Bali. Cok Savitri, seorang budayawan dan aktivis perempuan Bali, pernah berkata dalam pementasan monolog yang menggelegar. Ia menyatakan bahwa air adalah perjuangan politik untuk keadilan, ”Bali memerlukan kalian semua, jagalah air itu.” (*)

 

---

SARAS DEWIDosen Filsafat Universitas Indonesia

 
Period7 Apr 2024

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleMenghayati Subak
    Media name/outletJawaPos
    Country/TerritoryIndonesia
    Date7/04/24
    PersonsLG. Saraswati Putri

Keywords

  • saras dewi
  • keagamaan
  • filosofi