Mengembalikan Lumbung

Press/Media

Description

Karya itu tergelar lantang di malam berbintang di Desa Bangunjiwo, Jogjakarta. Bernaung di pendopo, karya seni bertajuk Wadas Lestari itu membuat para pengunjung memicingkan mata sambil merenung.

 

SENIMAN Fitri Dwi Kurniasih menyajikan objek-objek yang memantik orang-orang memikirkan tanda dan makna, kain stagen yang dianyam, kemudian kendi adalah benda-benda yang dekat dengan para perempuan di Desa Wadas. Rajutan kain raksasa berwarna merah tanah, putih, dan biru tua itu menyampaikan pesan keselamatan alam dan penduduk di Wadas. Begitu pula kendi yang terbuat dari tanah liat, pada bagian atasnya diletakkan pahatan kepalan tangan yang mewakili gerakan Wadon Wadas memperjuangkan lingkungan hidupnya dari ancaman pembangunan yang membahayakan alam dan penduduk setempat. Bermacam-macam problem lingkungan hidup yang dikhawatirkan muncul jika penambangan batu andesit dilakukan di hutan Wadas, namun yang terutama adalah terganggunya kultur pertanian dan mata air mereka. Kendi-kendi beralaskan besek bambu yang disusun di sekitar rajutan menandakan pembelaan mereka pada air, bahwa kesejahteraan manusia sangat bergantung pada keberlanjutan alamnya.

Karya instalasi ini adalah salah satu bagian dari perhelatan kesenian Jogja Biennale yang mengangkat tema besar yakni Titen. Ilmu titen adalah suatu kearifan untuk membaca dan memahami tanda-tanda dari alam. Dalam hal ini, ilmu titen sangat erat hubungannya dengan kepekaan kita memahami waktu dan periode tidak saja berdasarkan penanggalan menurut asumsi manusia semata, tetapi ilmu titen berarti memaknai waktu mengikuti pergerakan yang terjadi di alam. Dengan membaca tubuh alam, kita dapat mengerti perubahan yang tampak pada gerak-gerik satwa dan tumbuhan yang terjadi di laut, gunung, dan hutan kita. Ilmu titen patut dimengerti dalam konteks masa kini, yakni sebagai sikap kritis. Ilmu titen adalah upaya mengingat ajaran masa lampau untuk menyikapi problem-problem yang terjadi sekarang. Membaca pertanda alam saat ini, kita dapat menyaksikan musibah kekeringan, kegagalan panen di berbagai daerah, dan ancaman ketersediaan pangan.

Selain itu, saya mencermati pula berjalannya Pekan Kebudayaan Nasional. Kegiatan itu bertajuk Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan. Saya mempelajari karya seni yang diciptakan oleh kolektif seni Gegerboyo yang berkolaborasi dengan para warga di Rembang. Mereka melakukan penelitian tentang tradisi lokal dan kepercayaan warga setempat terkait dengan lingkungan hidupnya. Instalasi seni itu terdiri atas 4 lembar kain yang menjadi kanvas, menceritakan mitos dan cerita gaib yang melibatkan pohon hayat dan makhluk gaib yang hidup di hutan dalam warna hijau fluoresen. Seperti halnya ular raksasa yang melilit pohon besar, sebagai tanda alam yang menjaga dan melimpahi seluruh kehidupan ini, pada bagian bawahnya tertulis, ’’Kita menjadi pohon dalam kehidupan selanjutnya...” Melalui karya mereka, komunitas Gegerboyo sejatinya tengah berbicara tentang air dan bahaya kekeringan yang mengancam masyarakat. Bentuk karya instalasi mereka menempatkan tandon air sebagai wujud kecemasan para petani tentang hilangnya embung-embung air, yang keberadaannya sangat penting untuk mengairi sawah pada musim kemarau.

Pekan kebudayaan tahun ini saya maknai tidak saja mengenai perayaan dan sukacita, tetapi pada penghayatan lainnya, pekan kebudayaan ini juga adalah momen introspeksi dan ajakan untuk menggali ingatan lampau tentang kebijaksanaan dalam merawat lingkungan hidup yang lestari. Saya tertarik dengan metode yang digunakan untuk memaknai kebudayaan, yakni dengan kata lumbung. Saya teringat hari-hari di desa, melihat para petani menyimpan hasil panen di lumbung untuk kesejahteraan bersama. Lumbung secara filosofis dapat dimaknai sebagaimana, tempat itu secara fungsional menampung padi yang menopang kesejahteraan warga desa. Di sisi lain, lumbung adalah gagasan tentang kerja sama masyarakat, kepedulian bersama, saling guyub untuk mengatasi segala persoalan yang merundung. Lumbung sebagai metode kritis berarti kerja-kerja kebudayaan yang bertujuan untuk keselamatan bersama.

Lumbung menurut saya juga adalah imajinasi tentang cinta yang melampaui diri sendiri. Jika menilik gagasan pemikir pos strukturalis, Gilles Deleuze, ia membicarakan tentang tubuh dan multiplisitas, dalam hal ini mencintai menggunakan tubuh telah tersebar dalam berbagai bentuk multiplisitas. Saya merasa itulah yang sebenarnya dituangkan dalam berbagai karya seni yang mengangkat keresahan kita melihat kerusakan sosial ekologis. Lumbung adalah cita-cita kita untuk mencintai orang lain, makhluk hidup lainnya, dan bertanggung jawab terhadap ekosistem. Bekerja dengan filosofi lumbung berarti tidak lagi soal yang personal, tetapi lebih pada multiplisitas. Bagaimana hasil kerja atau buah karya telah menyebar dan berkelindan menjadi jejaring bersama orang lain, dan lingkungan hidup kita.

Sebagai penutup, pengertian lumbung sebagai pendekatan estetis berarti karya seni yang lahir dari kolaborasi antarelemen dalam menampilkan ekspresi kesenian dan kesadaran pada isu sosial ekologis. Kepekaan seni dalam hal ini adalah praktik-praktik nyata yang memosisikan individu tidak saja bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi bagi komunal dan lingkungan hidupnya. (*)

---

SARAS DEWI, Dosen filsafat Universitas Indonesia

 
Period5 Nov 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleMengembalikan Lumbung
    Media name/outletJawaPos
    Country/TerritoryIndonesia
    Date5/11/23
    PersonsLG. Saraswati Putri

Keywords

  • pekan kebudayaan nasional
  • Wadas
  • Lumbung