Media di Masa Infokaliptik

Press/Media

Description

Dalam rangka memperingati HUT Ke-74 Jawa Pos, saya merenungkan seberapa jauh masyarakat kita kini memaknai media. Realitas memang tidak lagi sesederhana membuka lembaran-lembaran koran, membaca berita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di pojok dunia, dan pembaca itu merasa percaya dengan fakta yang dirangkai menjadi tulisan.

KINI persepsi kita dipenuhi oleh letusan informasi; teks, gambar, bahkan audio yang tersebar dengan cepat hanya dengan mengetuk layar gawai di dalam genggaman. Kilatnya informasi belum tentu mengutamakan kebenaran faktual, inilah bahaya dari era infokalips.

Misinformasi dan Disinformasi

Nina Schick –seorang peneliti kebijakan khususnya yang terkait dengan politik dan teknologi– dalam karyanya yang berjudul Deepfakes: The Coming of Infocalypse menjelaskan marabahaya yang muncul dengan peralihan ke paradigma digital, dan khususnya dengan berkembangnya kecerdasan artifisial. Ia mengkhawatirkan penggunaan mesin AI yang memungkinkan sepenuhnya media sintetis. Bayangkan, misinformasi dan disinformasi yang diamplifikasi oleh AI generatif akan mempersulit siapa pun membedakan mana yang riil, mana yang palsu? Tidak berlebihan Schick menyebut kondisi ini sebagai infokalips, yakni penggabungan antara dua kata; informasi dan apokalips. Saya menafsirnya, pengandaian suatu bencana besar yang disebabkan oleh derasnya informasi yang melampaui kendali kita.

Berita bohong dan manipulasi politik bukanlah sesuatu yang baru, tetapi yang perlu kita kritisi saat ini adalah bagaimana beredarnya informasi yang buruk itu berkali lipat dalam kecepatan dan halusnya memproduksi citra-citra yang menyerupai orang atau kejadian sungguhan. Deepfakes, atau kepalsuan yang amat mendalam, merupakan pemrosesan gambar yang menggunakan teknologi kecerdasan artifisial. Penyalahgunaan teknologi ini memungkinkan seseorang membuat video yang menampilkan gambar palsu seorang kepala negara mengatakan suatu informasi yang salah. Bahkan, saat ini deepfakes bisa menciptakan awatara atau persona digital yang mirip sekali dengan manusia; memiliki guratan wajah, kedipan mata, ekspresi yang serasa seperti orang nyata, padahal sosok itu tidak berwujud di dunia sungguhan.

Nina Schick merefleksikan krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar pada tahun 2015. Ketika rasialisme disebarkan secara pesat terbalut dengan kebohongan di media sosial, yang kemudian bereskalasi menjadi massa dan militer melakukan pembunuhan terhadap puluhan ribu korban etnis Rohingya. Betapa mengerikan kejadian tersebut! Oleh karena itu, misinformasi dan disinformasi perlu disikapi dengan publik yang selalu waspada dan bijak dalam mencerna informasi. Saya setuju dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Schick bahwa demi menandingi ancaman distopia informasi yang sedang berlangsung, masyarakat harus sadar dan terlibat dalam memahami informasi yang ia baca dan bagikan.

Media dan Implosi Makna

Halaman muka koran Jawa Pos kemarin (Jumat 30/6/23) membahas tentang ’’Godfather” AI, Geoffrey Hinton seorang ilmuwan yang turut membangun fondasi studi tentang AI, khususnya mengenai pembelajaran mendalam (deep learning). Ia menyampaikan kecemasannya tentang mesin AI yang dapat mengambil alih hidup manusia. Menurut saya, AI memiliki potensi menghasilkan kebaikan, tentu jika dimanfaatkan secara kritis dan penuh tanggung jawab. Teknologi AI dapat membantu manusia memecahkan problem lingkungan hidup, kesehatan, hingga penelitian tentang energi terbarukan. Akan tetapi, saya turut menyetujui sisi bahaya dari AI, Hinton berkali-kali menyampaikan keberatannya jika AI digunakan dalam sistem militer. Ia menolak dengan tegas penggunaan AI dalam merancang senjata otonom. Selain itu, menanggapi maraknya deepfakes, informasi palsu yang menyesatkan, salah satu usul yang juga diajukan oleh Hinton adalah aturan untuk menandai konten-konten yang dihasilkan oleh AI.

Jean Baudrillard, seorang filsuf posmodern asal Prancis, pernah mengatakan, ’’Kita hidup di dunia yang terus-menerus bertambah informasi, tetapi semakin berkurang makna.” Lebih lanjut lagi, Baudrillard pun membicarakan kebingungan komunikasi di era hiperrealitas yang semakin sulit mengetahui apa yang nyata? Implosi sosial yang dimaksud oleh Baudrillard membahas tentang media terutama media elektronik yang ia andaikan berisi lalu-lalang informasi secara masif dan intensif, yang justru menjauhkan kita dari makna. Kita kesukaran menentukan batasan antara realitas dan representasinya.

Permenungan ini membawa saya kembali tentang Jawa Pos sebagai media pemberitaan beserta segenap historisitasnya, transformasinya dari koran cetak hingga digital. Justru dalam kondisi infokaliptik inilah kehadiran media pemberitaan yang bereputasi menjadi harapan bagi warga. Kerinduan semacam ini bukan sebatas nostalgia pada kejayaan media cetak, tetapi lebih substansial dan eksistensial, yakni kebutuhan kita akan pencarian kebenaran. Saya sepakat dengan Dina Aboughazala, seorang jurnalis perempuan asal Mesir. Ia mengajak para wartawan untuk tetap gigih dan berani melakukan reportase peristiwa. Sebab, AI tidak memiliki pengalaman dan kepekaan manusia yang terjun ke lapangan dan mampu menghadirkan beragam sudut pandang dari satu kejadian. Sisi kemanusiaan inilah yang membuat saya tetap optimistis. Media yang dapat merawat komunikasi dan akal sehat di tengah masyarakat. Selamat HUT Jawa Pos! (*)

SARAS DEWIDosen filsafat Universitas Indonesia

 
Period2 Jul 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleMedia di Masa Infokaliptik
    Media name/outletJawaPos
    Country/TerritoryIndonesia
    Date2/07/23
    PersonsLG. Saraswati Putri

Keywords

  • jawa pos
  • saras dewi