Description
Kelas filsafat lingkungan hidup dibuka dengan satu pertanyaan, ”Apa rasanya bagi yang hidup di Kota Jakarta, Depok, dan Tangerang belakangan ini?” Para mahasiswa bersahut-sahutan menimpali dengan jawaban. Panas! Sesak! Stres!
INI adalah respons jujur menyikapi kota-kota yang beberapa pekan ini dinyatakan sarat pencemaran udara. Bahkan, Kota Jakarta dinyatakan sebagai salah satu kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia. Celetukan mereka yang penuh dengan keluhan mengingatkan saya dengan salah satu lagu karya band Navicula yang berjudul Metropolutan. Liriknya mengatakan, ”Asap jalan jadi awan, di jantung metropolutan.” Langit Jakarta selama berhari-hari menjadi kelabu, pertanda udara yang dicemari zat-zat polutan yang berbahaya. Itulah yang dihirup oleh warga Jakarta, asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Pencemaran udara yang sangat buruk ini dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, asma, dan berbagai potensi penyakit lainnya.
Apakah yang mengakibatkan bencana pencemaran ini? Selain disebabkan asap yang dihasilkan oleh masifnya kendaraan bermotor, penelitian Center for Research on Clean Energy and Air (CREA) mengungkap bahwa keberadaan PLTU yang berbahan bakar batu bara dan berbagai industri manufaktur lintas wilayah menyebabkan tersekapnya juga polutan di atmosfer. Penelitian ini amat penting, khususnya metodologi yang dilakukan oleh para peneliti terkait jangkauan dari pencemaran udara yang berdampak secara luas. Menggunakan citra satelit dan mempelajari lintasan angin, CREA menyatakan bahwa sepanjang 200 km dapat dipelajari pencemaran lintas batas administrasi dari Jawa Barat, Banten, hingga ke DKI Jakarta. Kombinasi aktivitas sektor transportasi, industri, dan PLTU menyebabkan kondisi udara menjadi buruk, khususnya di masa musim kering, yakni dari bulan Juli hingga Oktober.
Kehidupan di kota yang identik dengan kepadatan, macet, dan selalu berlomba-lomba lebih cepat sering kali diterima sebagai kondisi terberi yang sulit untuk diubah. Warga terpaksa beraktivitas meski harus menghadapi ancaman kesehatan yang merongrong keseharian kita di jalanan. Manalagi, zat yang beracun bagi tubuh tidak selalu menampakkan akibatnya langsung. Selain gangguan pernapasan, penyakit lainnya seperti ancaman stroke, penyakit kardiovaskular, dan kanker dapat terjadi disebabkan oleh polusi udara. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa bahaya polusi udara adalah darurat kesehatan, khususnya bagi anak-anak. Fakta ini sering terabaikan, padahal anak-anak sangat rentan disebabkan organ-organ tubuh (jantung dan paru-paru) mereka masih berkembang. Anak-anak juga memiliki laju pernapasan yang lebih tinggi sehingga mereka menghirup lebih banyak udara per kilogram massa tubuh dibandingkan dengan orang-orang dewasa. Melalui riset-riset terbaru, diketahui pula keterhubungan antara polusi udara dan stunting pada anak (G. Syuhada: 2023).
Dalam riset yang dilakukan oleh Anilla Cherian yang berjudul ”Polusi Udara, Energi Bersih, dan Perubahan Iklim”, ia menyajikan keterpautan antara polusi udara, energi fosil, dan perubahan iklim. Seperti halnya riset yang dilakukan oleh CREA, hendaknya pengukuran pencemaran tidak lagi cukup terbatas pada lingkup lokal. Atmosfer yang tidak mengenal perbatasan kewilayahan sewajibnya menjadi pengingat bahwa pencemaran udara ternyata dapat berdampak lebih luas dan berkepanjangan. Demikian pula sebaiknya kita mempelajari tentang polusi udara dengan konteks urgensi kewaspadaan terhadap perubahan iklim. Seperti yang dirasakan saat ini, musim panas yang ekstrem dapat memperburuk polusi udara dengan menyekap polutan di suatu area untuk jangka waktu yang lama. Secara global, dalam melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, misi membenahi kota-kota menjadi sangat fundamental. Berpegang pada data PBB yang menyatakan bahwa sekitar lebih dari 56 persen penduduk dunia bermukim di wilayah perkotaan pada 2020, dan angka ini dinyatakan akan terus meningkat. Sehingga sekitar 4,3 miliar orang saat ini tinggal di perkotaan. Dibutuhkan transformasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Ini melingkupi kebijakan yang membuat kota berkelanjutan, yakni meliputi perubahan dengan memanfaatkan energi terbarukan, tata kelola limbah yang baik, ruang terbuka hijau untuk menjaga keseimbangan kota, dan penggunaan sumber daya secara efisien.
Kita berhak mengubah kota, dan menuntut perhatian serta keseriusan pemerintah untuk mengembangkan kota menjadi ruang hidup bersama yang lebih baik. Semenjak menangnya gugatan warga negara di pengadilan terkait dengan polusi udara pada 2021, kita perlu bertanya sudahkah langkah-langkah substansial dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi pencemaran udara? Beberapa poin tuntutan yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti penetapan status mutu udara ambien Jakarta menambah stasiun pemantau kualitas udara, pengawasan dan sanksi bagi pencemar udara, pengetatan baku mutu emisi (BME), penyusunan inventarisasi emisi lintas batas, dan yang terpenting penyusunan strategi dan rencana aksi pemulihan udara Jakarta (ICEL: 2020). Karena itu, warga perlu terus mengawal dan mendesak pemerintah agar poin-poin ini diaktualisasikan.
Sebagai penutup, saya terngiang dengan gagasan David Harvey, seorang pemikir kritis teori urban. Saya memaknai bahwa kebebasan untuk menginginkan dan mengubah kota untuk kebaikan kolektif adalah bagian dari hak asasi manusia. Hak untuk hidup dan bernapas di lingkungan yang sehat itu adalah hak setiap warga. (*)
Period | 3 Sept 2023 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Kota Metropolutan Media name/outlet JawaPos Country/Territory Indonesia Date 3/09/23 Persons LG. Saraswati Putri
Keywords
- polusi
- saras dewi
- lingkungan hidup
- metropolitan
- infeksi saluran pernapasan akut