Kader-tainment: Kompromi atau Kegagalan Kaderisasi Partai Politik?

Press/Media

Description

Karakter utama yang dibangun untuk terhubung dengan perasaan penonton bukanlah hal baru dalam industri konten. Karakter utama umumnya memang diceritakan sedemikian rupa agar penonton dapat merasa relate dan dapat merasakan hal yang dirasakan oleh sang karakter. Tujuanya adalah agar penonton dapat merasa memiliki terhadap suatu cerita, yang dalam perspektif bisnis berpengaruh pada penjualan karakter dan konten ceritanya (voices.uchicago.edu, 2018; Kristen Kieffer, 2018)

Perkembangan kecintaan sebuah karakter fiksi pada komunitas otaku Indonesia telah menunjukan suatu yang menarik. Banyak dari anggota komunitas otaku Indonesia merasa relate kepada karakter-karakter seperti Hachiman Hikigaya dari Oregairu atau Kiyotaka Ayanokouji dari Classroom of the Elite (Dafunda.com, 2017; Chapteria.com, 2020; Hilmy R. Subari.) Karakter-karakter ini kemudian memunculkan istilah “karakter yang gue banget!”, menunjukan bahwa aspirasi dari karakter tersebut sangat beresonansi dan relate dengan pembacanya.

Menariknya karakter-karakter yang “gue banget” ini jika dikritisi memiliki pola kemiripan, yaitu berkecenderungan menganut aliran filsafat nihilisme. Lalu, apa yang membuat otaku Indonesia bisa relate dengan para karakter anime yang berfilosofi nihilisme ini?

 

Aliran Filosofi Nihilisme

Nihilisme adalah pandangan filsafat di mana tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia ini. Karena setiap orang memiliki pemahaman tentang kebenaran yang berbeda-beda, maka tidak ada satu kebenaran yang pasti, hanya ada berbagai versi kebenaran yang dianut oleh masing-masing individu (Hergenhahn & Henley, 2014, Crosby Donald, 1998).  Pandangan ini seringkali identik dengan anggapan bahwa tidak ada makna dalam hidup seorang manusia (Pratt, n.d).  Seorang nihilist biasanya memiliki pandangan bahwa tidak ada aturan atau moral yang mutlak, sehingga mereka akan hidup berdasarkan aturan dan kode etik yang mereka buat sendiri.

Aliran filsafat nihilism sering diasosiasikan oleh pemikiran seorang filsuf asal jerman Bernama Friedrich Nietzsche yang berpendapat bahwa “Tuhan telah mati dan manusia yang membunuhnya” (Yulius Aris Widiantoro, 2009; Misnal Munir, 2011). Menurutnya, manusia sudah terlalu lama bergantung pada Tuhan untuk menemukan kebenaran dan makna dalam hidup.

Menurut Nietzsche, pada awalnya agama dan moral memang menjadi pegangan bagi manusia dalam menemukan arti hidup. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sains berkembang dengan pesat. Berbagai fenomena alam yang sebelumnya hanya dimaknai sebagai kebesaran Tuhan perlahan dapat dijelaskan secara saintifik oleh manusia. Oleh karena itu, Nietzche berargumen bahwa posisi Tuhan dan agama bagi manusia akan bergeser dan pada akhirnya manusia akan meninggalkan Tuhan. Akan Tetapi ketika manusia kehilangan Tuhan, masyarakat mengalami kekacauan dan ketakutan.

Kekacauan dan ketakutan ini muncul karena manusia dihadapkan kepada suatu realita yang tidak memiliki kepastian dan terbebas dari nilai apapun. Tanpa Tuhan, manusia harus berhadapan dengan situasi kekacauan dari hilangnya nilai-nilai yang tadinya berperan penting dalam menuntun hidupnya, contohnya adalah nilai baik dan buruk yang umumnya bersumber dari moral dan agama. Hal ini akhirnya bermuara kepada manusia terjebak didalam kehampaan tanpa pertolongan siapapun.

Pemikiran Nietzche ini akhirnya sering terasosiasikan kepada kelahiran filsafat nihilism. Nietzche berargumen bahwa ketika manusia terbebas dari ketergantungan apapun, mereka harus dapat bergantung pada kemampuanya sendiri. Hal ini kemudian menjadi salah satu nilai penting yang dimiliki seorang nihilist, yaitu pemikiran untuk terbebas dari ketergantungan nilai-nilai apapun dan hidup sesuai dengan makna yang mereka definisikan sendiri.

 

Nihilisme dalam Anime

Kepopuleran nihilisme juga berpengaruh pada penulisan media seperti buku atau film. Salah satu media yang juga terpengaruh adalah anime di mana beberapa anime menampilkan paham nihilisme dalam penulisan cerita maupun karakter. Beberapa anime seperti OregairuClassroom of the Elite, ataupun Hyouka menampilkan karakter utama yang memiliki pandangan hidup yang cenderung nihilistik.

Karakter-karakter ini memiliki kesamaan seperti cenderung memiliki pandangan yang berbeda dengan teman-temannya terkait makna dan tujuan kehidupan. Karakter-karakter ini berusaha membebaskan diri dari nilai sistem sosial dan memaknai hidupnya sendiri. Secara tidak langsung mereka menunjukan gaya hidup seorang nihilist.

Beberapa di antaranya seperti Hachiman dan Ayanokouji menunjukan pemikiran yang menentang standar sosial yang diberikan kepada mereka. misalnya Hachiman yang menganggap semua orang yang berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain adalah dangkal dan tidak benar-benar jujur pada dirinya sendiri. Atau Ayanokouji memilih untuk tidak menampilkan kemampuannya karena kepercayaannya, padahal dirinya berada di sekolah yang menuntut murid untuk menunjukan kemampuanya.

Di sini karakter-karakter ini berusaha memaknai dirinya sendiri terlepas dari system nilai sosial yang menjadi pegangan manusia untuk bersikap. Contohnya, Hachiman berusaha menjunjung konsep ketulusan dalam hubungan manusia sehingga ia memandang orang yang menyesuaikan diri adalah tidak tulus; dan juga Ayanokouji yang berusaha bergantung pada konsep “kemenangan” sebagai makna dari hidupnya. Ayanokouji tidak memperdulikan apakah kemampuanya terlihat atau tidak selama dirinya menang.

Meski demikian, karakter-karakter ini justru beresonansi dengan penontonnya, terutama pada penggemar anime di Indonesia. Hal ini sampai memunculkan istilah “gue banget” untuk menggambarkan relasi mereka dengan karakter tersebut. Mereka dianggap sebagai karakter yang sangat menggambarkan diri para penonton.

 

Mengapa Otaku Indonesia Merasa Terkoneksi dengan Karakter Berfilosofi Nihilist?

Faktor utama kenapa istilah “gue banget” itu bisa muncul bersumber dari bagaimana penonton dapat melihat aspek dirinya pada karakter-karakter ini. Mungkin ini dikarenakan banyak dari penonton merasa memiliki karakteristik yang sama dengan Hachiman seperti sama-sama penyendiri atau merasa tidak ingin menjadi pusat perhatian dan pemenang seperti Ayanokouji.

Dapat dikatakan bahwa di Indonesia jumlah otaku masihlah berada pada jumlah yang marjinal. Jumlah yang sedikit membuat para otaku merasa apa yang digemarinya berbeda daripada orang-orang lain pada umumnya. Di lain pihak, masyarakat Indonesia yang memiliki sifat komunal lebih menghargai kebersamaan dibandingkan suatu hal yang berbeda, termasuk di bidang hobi (Lembaga Survei Indonesia, 2009; Max Regus,2020.) Hal ini menimbulkan otaku merasa teralienasi dari masyarakat “mainstream” yang memiliki kegemaran berbeda dengan dirinya.  Alienasi ini kemudian diperparah dengan stigma negatif dari otaku yang dekat dengan konteks Geek atau Nerd yang akhirnya membuat mereka menjadi menarik diri dari lingkungan sosial (Sakinah B. Yulian, 2019; Nuraini & Yufi A., 2020.)

Untuk menjadi seorang otaku di Indonesia, seseorang harus dapat berani menjadi seorang berbeda di antara masyarakat. Yang berarti orang itu harus dapat terbebas dari nilai baik dan buruk yang telah ditetapkan oleh standar yang ada. Kemudian, mereka harus dapat mendifinisikan prinsipnya sendiri yang berbeda dari masyarakat, dan berdamai, berpuas diri kepada konsekuensi prinsip yang telah mereka pilih.

Tentu prinsip ini terbentuk bukan dengan cara yang mudah. Seperti teori Nietzsche, pembentukan nilai dari dirinya sendiri ini harus disertai dengan kekacauan karena kenirmaknaan. Dalam hal ini otaku harus berkonflik dengan nilai-nilai yang ada, merasa tersesat dan mungkin ada beberapa yang telah menghadapi “kehampaan/nihilisme.” Merasa hampa karena dia tidak mengetahui mana yang baik atau buruk karena apa yang mereka sukai dan anggap baik merupakan hal tidak populer oleh masyarakat “mainstream.”

Paham nihilisme ini kemudian beresonansi kepada otaku Indonesia karena mereka dihadapkan pada keadaan sulit untuk mendefinisikan nilai dan prinsipnya sendiri. Pencarian jati diri sebagai otaku mendorong mereka untuk membebaskan dirinya dari nilai-nilai sosial yang telah mendefinisikan mereka. Kemudian, bergerak merumuskan nilai dan prinsip mereka sendiri tanpa bisa berpegangan pada yang sudah ada.

Inilah yang mungkin membuat para otaku di Indonesia dapat “relate” kepada karakter-karakter nihilist. Ini dikarenakan mereka berpikiran bahwa tidak ada nilai yang mutlak, dan dalam kehampaan nilai, mereka dapat menentukanya dengan kemampuanya sendiri tanpa masalah. Para karakter nihilis seakan memberikan proyeksi zona aman bahwa menjadi berbeda dan mendefinisikan prinsipnya sendiri bukanlah masalah dalam bermasyarakat. Bahkan, penggambaran dramatis karakter nihilist sebagai seorang yang memiliki kelebihan atas prinsipnya juga memberikan rasa aman atas keputusanya untuk berbeda.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa alasan para otaku Indonesia merasa terhubung dengan karakter-karakter ini adalah karena kemiripan perspektif, pengalaman, pemikiran dan juga proyeksi rasa aman yang ditimbulkan dari pada mereka.

Subject

Nihilisme

Period5 Dec 2021

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleKarakter "Gue Banget!": Mengapa Karakter Berfilosofi Nihilisme Populer di Kalangan Otaku Indonesia?
    Media name/outletkaorinusantara.or.id
    Country/TerritoryIndonesia
    Date5/12/21
    PersonsAngga Priancha