Description
Seorang filsuf Yunani kuno bernama Epikurus pernah berkata bahwa kebahagiaan dan kenikmatan hidup itu terletak pada makanan yang kita santap bersama teman-teman dan orang-orang yang kita cintai.
MAKANAN adalah bagian dari keseharian kita, namun di balik setiap gigitan terdapat rasa, tekstur, hingga sejarah makanan yang membuat makanan melebihi sekadar kepuasan ragawi. Melalui lensa filosofis, kita dapat menyoal makanan secara estetis dan etis. Pengetahuan seperti apakah yang dapat kita gali tentang manusia melalui makanannya?
Pada masyarakat Indonesia, makanan adalah bukti nyata keberagaman serta berwarna-warninya selera makan orang Indonesia itu. Manis, asin, asam, gurih, pedas, bumbu-bumbu khas yang tradisional, tapi di sisi yang lain terus berbaur dengan pertemuan antarbudaya serta kreativitas memodifikasi hidangan. Ketika mencermati budaya, pengertian tentang makanan acap kali tidak terlampau didalami. Soal makanan sering diabaikan, dan tidak terlalu serius ditelisik sebagai bagian dari unsur penting kebudayaan suatu masyarakat. Padahal, tidak saja manusia butuh makan untuk tetap bertahan hidup, tetapi yang juga istimewa adalah cara orang-orang mengolah dan menikmati makanan tersebut. Dalam makanan itu, selain selera yang dianggap enak, bentuk estetik sajian, tersimpan juga nilai-nilai, memori, dan imajinasi tentang hubungan antarpersonal.
Sari makanan selalu terendap dalam ingatan. Dari berbagai tempat yang saya singgahi, cita rasa makanan selalu membekas. Ingatan tentang kampung halaman dan makanan khas dari Bali, plecing kangkung, jukut kalas, dan kesukaan saya rujak bulung. Hidangan sayur-sayuran yang gurih dan pedas itu selalu membuat saya merindukan keluarga di Bali. Selain itu, sajian yang berkesan lainnya adalah pengalaman menyantap pisang mulu bebe yang digoreng tipis dicampur dengan sambal di Ternate, atau papeda hangat di Loloda. Tidak terlupakan juga gurih dan kentalnya gulai pisang yang lezat khas Bengkulu, saat itu pas sekali dipadukan dengan es jeruk kalamansi yang segar.
Dalam berbagai kebudayaan, menikmati makanan bersama-sama menandai momen bernilai yang mengeratkan jalinan kekerabatan. Itu mengapa jamuan makan, selain menjadi pengalaman sensori merasakan makanan dan minuman yang enak, juga menjadi istimewa karena pengalaman itu dibagikan dengan orang lain. Dalam penelitian yang dilakukan Nicola Perullo –seorang filsuf yang khusus mencermati makanan dan estetika, ia fokus membahas pengalaman bersantap tidak saja sebagai pengalaman yang menghadirkan sisi reflektif individu, tetapi juga pengalaman kolektif yang bermakna bagi komunitas. Saya pernah merasakan hangatnya menyantap makanan bersama-sama warga di salah satu desa di Cianjur. Selepas kegiatan pengabdian kepada masyarakat, kami semua mencicipi nasi liwetan yang disajikan di atas daun pisang yang disusun memanjang. Lauk sederhana seperti tahu, tempe, jengkol ditemani sayur lalapan yang krenyes dicampur dengan sambal yang sangat pedas sangat menggugah selera. Momen itu berharga sebab kami semua diyakinkan meski dalam keadaan terberat, kita dapat bergantung pada kepedulian sesama masyarakat.
Dari perspektif filosofis, hubungan makanan dan seni telah mengundang beragam diskusi dan juga perdebatan. Jika kita menelisik menggunakan teori-teori estetika klasik, indra sentuh dan pengecap kita kerap tidak terlalu diperhatikan. Carolyn Korsmeyer, seorang profesor filsafat di bidang estetika, mengkritik pandangan lama tersebut. Lebih lanjut, ia menggugat adanya semacam hierarki indra yang rendah dan tinggi, bahwa penglihatan dan pendengaran dianggap sebagai indra yang lebih superior dan dipercaya jika dikaitkan dengan seni.
Ajakan Korsmeyer agar mempertimbangkan ulang indra-indra manusia saya rasa patut direnungkan. Korsmeyer mengkritik asumsi-asumsi yang membenturkan antara pikiran dan tubuh. Dalam tradisi filsafat Barat memang pandangan yang dominan menempatkan rasio sebagai cara terpenting dalam memahami dunia, pikiran manusia seolah berjarak dengan tubuhnya sendiri. Tentulah pandangan ini kurang tepat sebab pikiran kita bekerja dalam kesatuan sebagai pengalaman ketubuhan. Korsmeyer membicarakan pemikiran filsuf Yunani klasik seperti Plato, yang mencontohkan menggunakan tubuh manusia, bahwa bagian kepala manusia sangat berbeda dengan bagian perutnya. Perut manusia terpaut dengan nafsu dan gairah, sedangkan pikirannya berupaya mencari yang murni dan ideal. Sepertinya kontradiksi ini terlalu ekstrem, Korsmeyer mengusulkan melihat tubuh dan kompleksitas indra-indranya sebagai pengalaman yang menyeluruh.
Selain hubungan makanan dan pengalaman estetis, saya juga memikirkan aspek etis dari aktivitas makan masyarakat kita. Senada dengan Korsmeyer, pemikir lainnya seperti Lisa Heldke menegaskan bahwa kita perlu memikirkan makan selalu sebagai tindakan nyata yang memiliki implikasi etis dan politis. Secara kritis, kita perlu memahami keterkaitan antara makanan dan lingkungan hidup. Di tengah krisis iklim yang melanda secara global, alangkah urgennya untuk mempertimbangkan ketahanan pangan yang memiliki basis lokal dan berkelanjutan dengan alam sekitar. Sensibilitas tentang makanan tidak lagi berurusan dengan rasa yang enak di lidah, tapi juga yang baik bagi kesetaraan dan keseimbangan manusia dan lingkungan hidupnya. (*)
---
SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Period | 8 Oct 2023 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Dari Lidah Turun ke Hati Media name/outlet JawaPos Country/Territory Indonesia Date 8/10/23 Persons LG. Saraswati Putri
Keywords
- saras dewi
- hati
- lidah