Asuransi Berjuang Memperbaiki Diri dengan Literasi untuk Negeri

Press/Media

Description

Oleh: Rachim Chan, Cipto Hartono, dan Dewi Hanggraeni

Industri perasuransian Indonesia baru saja merayakan Hari Asuransi pada tanggal 18 Oktober dengan tema “Literasi Asuransi untuk Negeri”. Survei terakhir yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2022 menunjukkan bahwa literasi dan inklusi industri perasuransian masih rendah yakni 31,72 persen dan 16,63 persen, atau di bawah pencapaian literasi dan inklusi industri perbankan yang mencapai 49,93 persen dan 74,03 persen.

 

Hasil survei ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh seluruh pelaku di industri perasuransian, khususnya terkait belum terselesaikannya kasus gagal bayar yang berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat pada industri ini.

 

Membangun kesadaran berasuransi adalah proses panjang yang melibatkan seluruh elemen di industri ini, tidak sekadar berbicara tentang bagaimana agar angka-angka survei literasi dan inklusi ini dapat meningkat, tetapi hal yang paling fundamental adalah bagaimana membangun persepsi yang baik masyarakat atas industri perasuransian Indonesia dengan menampilkan wajah industri yang sehat, bersahabat, dan bermanfaat bagi masyarakat.

 

Industri perasuransian harus menunjukkan bahwa perusahaan asuransi yang ada saat ini adalah perusahaan yang sehat secara finansial, memiliki likuiditas yang baik sehingga mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, dan menerapkan manajemen risiko yang tepat untuk menjaga performa perusahaan dan kepentingan seluruh nasabahnya.

Belajar dari masa lalu

Masih segar pada ingatan ketika tahun 2018 Indonesia dikejutkan dengan adanya skandal keuangan yang melibatkan salah satu anak usaha BUMN yaitu PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menyatakan bahwa karena adanya tekanan likuiditas, perseroan tidak mampu memenuhi kewajibannya membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar.

Manajemen Jiwasraya menyampaikan bahwa perseroan membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas atau yang sering dikenal sebagai Risk Based Capital (RBC) yang ditentukan harus tidak boleh kurang dari 120 persen. Saat itu aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp23,26 triliun dengan kewajiban perusahaan yang mencapai Rp50,5 triliun.

 

Sontak saja hal ini mengejutkan banyak pihak, tidak saja pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN tetapi juga nasabah Jiwasraya. Berdasar data yang disampaikan bahwa gagal bayar atas klaim tersebut melibatkan 5,3 juta nasabah Jiwasraya yang 80 persen di antaranya adalah nasabah kalangan menengah ke bawah. Tekanan likuiditas yang dialami oleh Jiwasraya dari produk saving plan dimulai dari beban kewajiban perseroan untuk membayar klaim dan manfaat yang naik dua kali lipat dari periode sebelumnya, sehingga berdampak pada terjadinya defisit keuangan dan ekuitas perusahaan yang tercatat negatif pada tahun 2019.

Risiko likuiditas atas Jiwasraya menjadi masalah pelik bagi perseroan yang membuat perusahaan kesulitan membayar manfaat yang dijanjikan kepada pemegang polis. Refleksi atas kasus tersebut maka menjadi sangat penting bagi perseroan melakukan manajemen risiko yang baik dan mengelola likuiditas secara cermat untuk menghindari masalah keuangan seperti kasus Jiwasraya.

Titik balik untuk menjadi lebih baik

 

Pada tahun 2020 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengawasan industri keuangan termasuk perasuransian segera menerbitkan revisi regulasi berupa Peraturan OJK nomor 44/POJK.05/2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. OJK menyadari benar bahwa bahwa risiko yang semakin kompleks pada kegiatan usaha jasa keuangan non-bank perlu diimbangi dengan penerapan manajemen risiko yang memadai. Berikut adalah beberapa poin terkait risiko likuiditas yang tertuang dalam peraturan tersebut.

Pertama, risiko likuiditas dijelaskan sebagai risiko yang timbul akibat ketidakmampuan LJKNB (Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank) untuk memenuhi kewajiban keuangan yang jatuh tempo atau memperoleh dana dengan biaya yang wajar.

Kedua, LJKNB wajib menetapkan kebijakan manajemen risiko likuiditas yang mencakup identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian, dan pelaporan risiko likuiditas.

Ketiga, LJKNB harus memiliki rencana kontinjensi untuk mengatasi risiko likuiditas yang tidak terduga. Keempat, OJK akan melakukan evaluasi terhadap manajemen risiko likuiditas LJKNB dan dapat memberikan sanksi jika ditemukan pelanggaran.

Dengan adanya peraturan terkait manajemen risiko, diharapkan LJKNB dapat mengelola risikonya termasuk risiko likuiditas guna meminimalkan dampak negatif pada keuangan dan reputasi LJKNB serta mencegah terjadinya krisis keuangan di industri keuangan non-bank. Perusahaan asuransi dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengantisipasi setiap dinamika di dalam operasional perusahaan dan salah satu langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah dengan memastikan bahwa posisi keuangan perusahaan tetap likuid.

Ada banyak faktor yang perlu diperhatikan perusahaan asuransi dalam mengelola risiko likuiditas antara lain: pertama, Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid Asset (HQLA), perusahaan asuransi perlu memiliki kas atas aset keuangan lainnya dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas sehingga dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak lain, khususnya pemegang polis.

Kedua, Risk Based Capital (RBC), ini adalah ukuran tingkat solvabilitas, perusahaan asuransi perlu melakukan analisa guna menentukan tingkat RBC yang ideal sesuai dengan jenis usahanya. Tingkat RBC yang rendah apalagi di bawah ketentuan sebesar 120 persen, menunjukkan perusahaan memiliki tingkat eksposur risiko tinggi atas kemungkinan gagal bayar. Sebaliknya tingkat RBC yang terlalu tinggi walaupun terlihat baik, namun juga berarti bahwa terdapat cukup banyak dana yang kurang produktif karena seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan usaha.

Ketiga, pengelolaan posisi keuangan perusahaan dengan baik setidaknya meliputi pendapatan underwriting termasuk hasil underwriting, beban biaya perusahaan yang terkendali serta hasil investasi yang positif. Sebagai perusahaan dengan bisnis menerima transfer risiko dari pihak lain, maka asuransi perlu mengelola keuangannya dengan hati-hati, dimulai dari seleksi dan akseptasi risiko di awal agar hasil underwriting dapat terjaga sampai dengan beban biaya baik operasional maupun klaim dan cadangannya dapat terkendali. Penempatan investasi pada instrumen investasi yang tepat juga menjadi kunci kecukupan dana likuiditas pada saat dibutuhkan.

Keempat, dukungan reasuransi yang mencukupi. Keseimbangan antara risiko yang ditransfer kembali kepada pihak reasuransi dan risiko yang diputuskan menjadi retensi sendiri menjadi faktor penting dalam memaksimalkan keuntungan portofolio dan sekaligus memastikan dana recovery dari pihak reasuransi dapat tersedia saat dibutuhkan saat klaim terjadi.

Apa lagi ke depannya?

Faktor penting lain yang dapat mempengaruhi risiko likuiditas perusahaan adalah kecukupan modal perusahaan, sehingga OJK memiliki rencana untuk menyesuaikan aturan modal minimum bagi perusahaan asuransi. Pada tahun 2026 modal minimum perusahaan asuransi akan naik menjadi Rp500 miliar dan akan berlanjut naik menjadi Rp1 triliun pada tahun 2028.

Begitu pula dengan asuransi syariah yang juga harus menyesuaikan permodalannya menjadi Rp250 miliar di tahun 2026 dan Rp500 miliar di tahun 2028. Regulator berpendapat bahwa dengan ekuitas yang lebih besar, perusahaan akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menanggung risiko yang muncul sehingga memiliki cadangan yang cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemegang polis.

Namun demikian, rencana kenaikan modal ini ditanggapi secara beragam oleh pelaku industri perasuransian, ada yang mendukung karena menganggap bahwa aturan modal minimum tersebut dapat membantu industri perasuransian menjadi lebih sehat dan kuat, dan ada pula yang berpendapat bahwa rencana kenaikan tersebut dirasa terlalu memberatkan. Memperhatikan komposisi kepemilikan perusahaan asuransi di Indonesia, setidaknya terdapat tiga kelompok perusahaan yakni, perusahaan asuransi BUMN, perusahaan asuransi swasta yang berasal dari group konglomerasi dan perusahaan asuransi swasta yang benar-benar individual.

Rencana kenaikan modal minimum ini tentunya akan berpengaruh besar dalam peta industri perasuransian khususnya bagi perusahaan swasta yang tidak memiliki captive business atau tidak tergabung pada salah satu group konglomerasi sehingga perlu mempersiapkan rencana strategis untuk bisa memenuhi ketentuan tersebut.

Saran

Penerapan manajemen risiko menjadi salah satu kunci utama dalam menjalankan kegiatan usaha perusahaan asuransi. Klaim yang dapat terjadi sewaktu-waktu, membutuhkan alokasi cadangan klaim dan dana yang tersedia guna menghindari risiko likuiditas yang berujung pada risiko reputasi perusahaan dan industri asuransi secara keseluruhan. Kemampuan perusahaan asuransi menyelesaikan kewajibannya tepat waktu merupakan bagian dari langkah nyata literasi asuransi kepada pemegang polis bahwa asuransi merupakan solusi dari risiko yang mereka hadapi.

Perubahan regulasi khususnya terkait penambahan modal, dapat menjadi risiko strategis dan kepatuhan yang berhubungan dengan kondisi perusahaan. Hal ini perlu mendapat perhatian seksama bagi perusahaan swasta nasional yang tidak terafiliasi dengan group konglomerasi. Langkah-langkah strategis perlu dirumuskan dan dipertimbangkan guna mempersiapkan kecukupan modal sesuai persyaratan. Perhitungan tingkat RBC yang ideal untuk masing-masing jenis perusahaan asuransi dapat menjadi salah satu strategi dalam rangka memaksimalkan sumberdaya yang ada.

Terakhir tentunya peran aktif dari regulator untuk terus mengawasi dan mendorong perusahan untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko yang dihadapinya seiring perubahan konteks internal maupun eksternal yang dinamis dihadapi perusahaan asuransi.

Sampai dengan hari ini belum ada keputusan resmi yang dikeluarkan oleh OJK terkait rencana aturan modal minimum dan karenanya kita berharap bahwa keputusan terbaik dapat diambil untuk memberikan kepastian masa depan industri perasuransian serta mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Selamat Hari Asuransi Nasional!

 

Rachim Chan adalah Direktur Operasional PT Asuransi Chubb Syariah Indonesia dan mahasiswa MM FEB UI

Cipto Hartono adalah Chief Operating Officer PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan mahasiswa MM FEB UI

Dr Dewi Hanggraeni SE, MBA adalah Dosen MM FEB UI dan Dekan FEB Universitas Pertamina

Subject

Opini

Period25 Oct 2023

Media contributions

1

Media contributions

  • TitleAsuransi Berjuang Memperbaiki Diri dengan Literasi untuk Negeri
    Media name/outletMedia Asuransi News
    Country/TerritoryIndonesia
    Date25/10/23
    PersonsDewi Hanggraeni

Keywords

  • asuransi
  • asuransi jiwa
  • asuransi syariah
  • asuransi umum
  • asuransi untuk negeri
  • hari asuransi
  • inklusi asuransi
  • klaim asuransi
  • literasi asuransi
  • penilai kerugian asuransi
  • pialang asuransi
  • pialang reasuransi
  • premi asuransi
  • reasuransi