Description
Tujuan asli proyek ini harusnya melindungi pesisir dari dampak pemanasan global.
Penghitungan resmi suara hasil pemilihan presiden sudah dirilis. Pasangan calon yang diumumkan sebagai pemenang sudah jauh hari terlihat merayakan kemenangan. Kemungkinan besar pasangan calon ini akan melanjutkan proyek-proyek infrastruktur raksasa. Mengantisipasi hal ini, tidak berlebihan kiranya jika rakyat jelata pun melakukan ancang-ancang. Salah satunya soal proyek great garuda atau giant sea wall di Teluk Jakarta jika ternyata benar-benar dilanjutkan.
Sebagai bangsa yang mudah lupa, mungkin perlu diingatkan lebih dulu. Sepanjang dekade 2010-an lalu wacana publik pernah diramaikan dengan rencana membangun tanggul laut raksasa. Di atas tanggul ini bahkan akan dibangun kawasan urban baru berbentuk garuda. Bentuknya membentang hampir sepanjang 40 km di mulut Teluk Jakarta. Wacana ini juga sempat memanas ketika pemilihan gubernur Jakarta 2017.
Rencana itu terutama didorong oleh fakta bahwa permukaan laut naik sekitar 3-10 mm per tahun akibat pemanasan global. Akibatnya, pada tahun 2021 saja, sudah 14 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, bahkan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 2050.
Kawasan Muara Baru, misalnya, sudah berada satu meter di bawah permukaan laut dengan perkiraan akan semakin tenggelam sedalam empat meter pada tahun 2050. Menariknya, berbagai studi awal dan studi kelayakan bagi proyek tanggul laut raksasa terasa melompat ke simpulan. Untuk mengatasi fenomena fisik-ekologis tersebut, solusinya adalah tanggul-tanggul laut yang sekaligus merupakan kawasan urban baru.
Banyak pihak sontak kegirangan terutama ketika kawasan itu katanya akan dibangun berbentuk garuda raksasa. Daya tarik infrastruktur kolosal memang selalu kuat sejak zaman Nimrod membangun menara Babel. Orang sampai lupa bahwa tujuan asli proyek itu melindungi pesisir dari dampak pemanasan global. Lagipula, benarkah naiknya permukaan air laut merupakan masalah utama kawasan pesisir Jakarta? Berbagai studi menunjukkan, penurunan tanah justru lebih mengkhawatirkan.
Akibat eksploitasi air tanah, kondisi tanah pesisir yang lembut, dan beban bangunan di atasnya, tanah di pesisir Jakarta melesak sejauh 6-100 mm per tahun. Inilah ternyata penyumbang terbesar tenggelamnya kawasan pesisir Jakarta!
Aroma semerbak akal bulus memang sudah lama tercium. Naiknya permukaan air laut sekadar dijadikan dalih untuk mengembangkan kawasan elit perkotaan baru. Rencana ini bahkan sudah dirintis sejak 1980-an, jauh sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan serangkaian keputusan untuk mereklamasi kawasan pesisir Jakarta dan Tangerang pada 1995. Tentu saja, aspek-aspek ekologis apalagi sosial-budaya tidak pernah menjadi pertimbangan rencana ini.
Padahal, tanpa adanya kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah pun, lingkungan pesisir Jakarta dan utara Jawa pada umumnya sudah babak-belur. Itu disebabkan Orde Baru menggalakkan pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan. Ekosistem besar Teluk Jakarta (greater Jakarta Bay ecosystem) merupakan salah satu yang paling menderita.
Ekosistem besar berupa dataran banjir (flood plain) ini membentang luas. Mulai dari daerah tangkapan air (catchment areas) di kompleks Salak-Gede-Pangrango di selatan, dibatasi oleh sungai-sungai Citarum di timur dan Cisadane di barat, lalu sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya mengalir di tengah, hingga bermuara ke Teluk Jakarta sampai Kepulauan Seribu di Laut Jawa.
Ketika kondisinya masih baik, Teluk Jakarta merupakan suatu kompleks ekosistem pesisir seluas lebih dari 7500 km2 yang permai dan makmur. Hutan mangrove seluas 420 km2 melindungi dataran banjir dari abrasi oleh laut dari teluk, sekaligus menyaring endapan lumpur sungai (aluvial) dari daratan.
Sungai Cisadane—yang sedikit endapannya dibanding Ciliwung dan Citarum—mengakibatkan gugusan terumbu karang Kepulauan Seribu terbentuk memanjang ke arah barat laut sampai di utara Tangerang. Di antara mangrove dan terumbu karang terdapat padang lamun atau rumput laut (seagrass bed) yang luas membentang.
Itu semua membuat kawasan perairan Teluk Jakarta kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan. Tidak heran jika komunitas-komunitas nelayan dari daerah-daerah lain di Nusantara berkerumun di sana. Uniknya, desa-desa nelayan ini dulu terisolasi dari hiruk-pikuk Jakarta, dibatasi oleh hutan mangrove dan rawa-rawa yang luas.
Pertumbuhan Jakarta yang rakus akhirnya menghabisi hutan dan rawa itu sampai tersisa sekitar 3 km2 saja. Tekanan populasi dan polusi dari hilir perlahan tapi pasti merusak lingkungan Teluk Jakarta. Hidup dan penghidupan mereka yang bergantung padanya, terutama komunitas-komunitas nelayan, pun ikut rusak.
Industri perikanan tangkap tradisional nyatanya masih merupakan pilihan pekerjaan terakhir (last resort of employment) bagi banyak rakyat miskin. Situasi ini membuat populasi nelayan tradisional di seluruh Indonesia menjadi termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor), terlebih di Jakarta yang kesenjangan sosialnya menganga.
Ekspansi urban yang tak kenal puas—diperparah ketidakberdayaan nelayan dan penduduk miskin pesisir pada umumnya akibat kemiskinan struktural dan sistemik—meninggalkan timbunan masalah keadilan sosial. Semua bagaikan bom waktu yang tinggal menunggu meledak.
Sepanjang dekade 2000-an, wacana membangun kawasan perkotaan baru di pesisir atau lepas pantai yang sempat dikenal sebagai Jakarta Waterfront City tiba-tiba mendapat dalih baru. Banjir dari hilir dan rob dari laut dijadikan alasan jitu untuknya. Pada saat itu orang masih boleh berdebat apakah bencana alam ini harus segera dicegah serta bagaimana cara paling efektif dan efisien. Kini, 20 tahun kemudian, efek perubahan iklim ini sudah permanen.
Masalahnya bukan lagi memilih untuk mitigasi atau adaptasi. Satu-satunya langkah tersisa adalah adaptasi. Caranya dengan relokasi penduduk, membuat tanggul laut, atau sekaligus membuat daratan baru di atasnya. Namun, apa pun strategi yang dipilih, harus benar-benar jujur dengan asumsi dasarnya. Tujuan utamanya harus adaptasi terhadap perubahan iklim, sehingga pertimbangan-pertimbangan ekologis dan hidroklimatologis harus menjadi yang utama.
Nafsu untuk memburu cuan harus diletakkan pada urutan buncit lebih dulu. Jangan sampai pertimbangan pertumbuhan ekonomi menjadi pendorong utama, bahkan mengabaikan parameter dan kriteria lingkungan yang menentukan hidup mati semua.
Jika ini sudah beres, jangan lupa pada bom kesenjangan sosial yang sudah empot-empotan siap meledak. Pun pilihannya adalah membangun kawasan baru, harus dipertimbangkan baik-baik bagaimana mengintegrasikan rakyat miskin di pesisir ke dalam kawasan itu. Pilihannya bisa mengakomodasi industri perikanan tangkap tradisional agar ikut berkembang bersama kawasan baru. Tidak sekadar secara spasial, integrasi pun harus diupayakan mulus baik secara politik-ekonomi maupun sosial-budaya.
Apabila tidak memungkinkan, pilihan lain adalah menyerap penduduk miskin di pesisir ke dalam perekonomian urban kawasan baru. Strategi ini mengharuskan berbagai pelatihan keterampilan dan pendidikan yang harus diselenggarakan secara bermartabat.
Jika masih tidak memungkinkan, maka relokasi adalah jalan terakhir. Ini pun harus mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan—baik politik-ekonomi maupun sosial-budaya—dan mengedepankan martabat kemanusiaan.
Setelah itu semua barulah upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dapat dilirik kembali. Hanya dengan cara inilah pembangunan kawasan pesisir Jakarta—juga di mana pun di Indonesia—dapat berkelanjutan. Artinya, pembangunan ini tidak menggendong masalah-masalah yang justru akan menghambat di kemudian hari, bahkan menghancurkan semuanya.
Wallahua’lam bishawab.
Subject
Kolom
Period | 27 Mar 2024 |
---|
Media contributions
1Media contributions
Title Apa Kabar Great Garuda alias Giant Sea Wall Jakarta? Media name/outlet Hukum Online Country/Territory Indonesia Date 27/03/24 Persons Bono Budi Priambodo
Keywords
- jakarta
- dki jakarta